Cerpen: Suddenly Remember
Langit sore
yang temaram seperti menyuruhku tidak meninggalkan gedung bercat oranye ini.
Suara guruh terdengar seperti dari balik awan, bersambungan dengan kilat yang
seperti lampu blitz. Jelas cuaca ini menghambatku untuk bersegera melangkahkan
kaki tanpa takut terguyur hujan.
Beberapa
detik, aku menimbang-nimbang. Apa aku pulang saja, dengan resiko basah kuyup
karena mantelku tertinggal di rumah, atau aku menunggu di sini hingga langit
kembali bersahabat?
Kupandangi
sekitarku. Kampusku, kampus FISIP yang identik dengan bangunan bercat jingga
ini sudah terlihat sepi. Memang jarang ada perkuliahan di sore hari. Aku saja
yang terlewat rajin hingga lupa waktu membaca buku di perpustakaan. Jika bukan
karena mendapat tugas dari Pak Kumis, tentu aku tidak akan sudi menyelami
rak-rak itu untuk mencari buku dan jurnal ilmiah.
Suara guruh
terdengar lagi. Ah, nampaknya memang langit tak mengizinkanku pergi dulu.
Dengan berat hati, aku berjalan ke satu-satunya bangunan teraman menurutku,
yaitu mushala. Langkahku lebar-lebar, bersaing dengan rintik hujan yang mulai
turun.
Keadaan di
mushala tak lebih baik. Sepi, lampunya pun belum dinyalakan. Wajar karena hari
masih sore, namun rasanya perlu menyalakan penerangan karena alam sekitar yang
terasa gelap oleh awan mendung. Setelah melepas sandal dan menaruhnya di
pojokan, kulakukan tugasku sebagai seorang pengurus mushala yaitu menyalakan
lampu.
Sebetulnya
aku tak tahu apakah itu tugasku atau bukan, namun aku merasa punya kewenangan
atas mushala karena aku seorang pengurus rohis di sini. Unit kerohanian Islam,
tepatnya. Merekalah yang selalu menyalakan sinar terang di mushala ini, baik
secara harfiah maupun bukan. Merekalah yang mencoba meneranginya dengan sinar
Islam, dengan dakwah kepada penghuni kampus oranye yang kadang seolah lupa pada
agama ini.
Baiklah.
Kembali kepadaku.
Aku duduk
menyila di teras mushala. Menikmati kesendirianku. Menatap lalu lalang dedaunan
yang tertendang oleh angin sore dan juga arus air hujan yang mulai menderas.
Mendengarkan suara hujan yang seperti magis, membius dalam kenyamanan namun
terdapat kemisteriusan di sana. Bagaimanalah hujan tidak misterius. Hanya
dengan rintiknya yang jatuh ke bumi, bisa menumbuhkan bebijian tanah menjadi
tanaman. Hanya dengan rinainya yang menderas, bisa meninabobokan anak bayi dan
meninggalkan kenangan bagi anak remaja tanggung seperti aku.
Aku kini
memainkan ponsel, membunuh kebosanan. Hujan di sore hari membuatku termenung.
Mengapa hujan harus hadir saat aku tidak ingin? Membuatku harus tertahan di
sini.
Ketika aku
mulai larut dalam pikiran, sebuah suara membuatku menoleh. Bukan, bukan horor,
kok. Dari arah samping mushala yang langsung berbatasan dengan ruang jurusanku,
seseorang berlarian sambil memayungi kepala dengan tangan. Laki-laki itu nampaknya
memilih menerobos hujan tanpa peduli baju kokonya basah dan celana kainnya
terkena cipratan air.
Sosok itu
melewatiku yang sedang termenung di teras mushala, melewatkan aku yang tanpa
sadar menatapnya terus hingga hilang di pandangan. Ia hilang di tepi
persimpangan jalan, dugaanku sepertinya ia menuju parkiran.
Aku tidak
sadar sudah menatapnya hampir selama satu menit. Pandanganku beralih dari
tepian jalan itu, kini menatap lantai mushala.
Siapa dia?
Bukan orang spesial, aku bahkan tidak mengenalnya. Namun ia.. membuatku
mengingat seseorang lain yang tidak ada di sini sekarang. Seseorang yang pernah
menjadi sangat berarti untuk hari-hariku.
Seseorang itu
pernah membuat aku tidak bisa mengalihkan pandangan hampir selama
bertahun-tahun. Hanya kepada dia, aku melabuhkan harapan. Laki-laki yang kini
entah bagaimana kabarnya. Ia meninggalkan aku setelah mencuri sesuatu dariku:
hatiku. Sumpah, aku geli sekali menuliskan diksinya.
Agak bodoh
dan konyol, memang. Mengapa aku bisa mengingat dia setelah berbulan-bulan tak
bertemu atau memikirkannya lagi. Hanya karena melihat sepintas bayangan seperti
dirinya, memakai baju koko dan celana kain yang dilipat, kadang berjalan-jalan
di sekitar kelasku.
Aku merutuki
diriku sendiri. Kenapa pula aku kembali mengingat dia. Aku sudah susah payah
menyibukkan diri dan bersikap seolah hidupku tenang sekali. Aku sudah bersusah
payah agar tidak dengan latah mengucapkan namanya dalam hatiku, atau tanpa
sadar menyebut namanya dalam doaku. Kesusahpayahanku yang akhirnya berbuah selama
bulan-bulan ini kini ambyar hanya karena satu bayangan! Ya ampun!
Memang benar
kata orang. Hanya butuh satu detik untuk jatuh cinta, tapi butuh selamanya
untuk melupakan.
Hanya butuh
kebiasaan kecil yang dilakukan bersama untuk saling memahami satu sama lain,
tapi butuh beratus kilo jarak agar tak lagi saling mengingat.
Ah, budak
cinta. Aku.
Rinai air
hujan belum juga mau berdamai denganku. Ia masih terus menderas, menumpahkan
isi awan hitam yang seperti berbulan-bulan tak dikeluarkan. Aku semakin merapatkan
badan ke dinding, mencari kehangatan dari karpet mushala yang apak.
Lagi-lagi,
pikiranku melayang. Karena sosok laki-laki yang lewat tadi, membuatku memutar
memori dalam pikiran.
Aku dulu
pernah begitu menyukai seseorang itu. Hingga tak sadar, seharusnya aku tak
boleh membiarkan bibit perasaan ini tumbuh mengakar dan berbuah menjadi buah
yang manis namun berduri. Aku jatuh cinta, dengan segala yang aku punya, dengan
sepenuh hatiku.
Lantas aku
dekat dengan sosok itu, mencari alibi apapun yang membenarkan agar aku dekat
dengannya. Padahal seharusnya aku tau, tidak seperti ini Allah mengatur kita
jatuh cinta.
Aku buta.
Pandanganku tak kujaga, hatiku apalagi. Setiap hari terasa sempurna hingga
tiba-tiba, semua kesempurnaan yang kuanggap ajaib itu hilang.
Aku patah
hati hanya dengan sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa sebenarnya dia tidak hanya
dekat denganku, tapi juga banyak hati yang lain.
Aku hancur,
remuk. Menggelikan memang, tapi itu kenyataannya. Hatiku patah, hancur hingga
keping terakhir.
Aku terseok-seok
bangun. Hatiku menasehati, melawan perintah Allah memang akan menyakitkan
akhirnya.
Hatiku
bilang, inilah peringatan Allah untukmu.
Agar tak
sembarangan menaruh hati, agar hati-hati menjaga perasaan. Agar mengikuti
perintah Allah dan mematuhi aturan-Nya. Agar jatuh cinta sewajarnya saja, agar
tak sakit akhirnya.
Akhirnya aku
paham, sakit hatiku ini karena aku sendiri yang salah.
Dia tak
pernah bilang suka padaku, aku hanya menduga-duga. Dia tak pernah bilang akan
setia padaku, aku hanya berharap saja. Dan yang paling penting, dia tak pernah
bilang akan menikahi aku.
Iya, kan?
Karena tidak
ada ikatan antara laki-laki dan perempuan yang halal kecuali pernikahan.
Akhirnya aku
bangkit, tertatih menata hati dan melangkah maju. Hingga tiba di tempat ini
sekarang, menjadi aku yang sekarang.
Aku sudah
sadar, segala aturan Allah itu baik. Segala syariat Allah itu memang harus kita
ikuti. Karena kebaikannya, untuk kita sendiri.
Hujan sudah
berhenti. Rintiknya berubah menjadi genangan. Basah, menyejukkan. Dedaunan dan
rerumputan seolah sehabis mandi, kembali segar. Dan aku baru saja bangun dari
lamunanku, tersadar.
Ah,
terimakasih hujan. Terimakasih laki-laki misterius yang numpang lewat,
membuatku tiba-tiba teringat.
Yang berlalu,
biarlah berlalu. Kini saatnya melangkah maju. Sakit, sedih, pahit, itu pasti.
Tapi segala kepahitan itu akan menjadi berarti, karena sebuah hikmah yang kita
petik untuk pelajaran hati.
Aku tidak menyesal dipertemukan dengan pelajaran yang amat menyakitkan, namun paling berharga itu. Berkatnya, kini aku hati-hati sekali dalam menjaga hati. Tidak kubiarkan lagi aku jatuh pada tempat yang salah, dan membiarkan aku terjebak pada interaksi yang tak sah. Aku tau Allah menjagaku dengan cara-Nya, dan aku juga akan menjaga diriku dengan caraku.
It took a blitz to suddenly remember everything, and im glad i have already passed that one thing.
-yang
dimulai sejak lama, diselesaikan tanggal 06/04/20. ditulis di tengah semester 1 atau 2 kuliah.
Komentar
Posting Komentar