Cerpen: Suddenly Remember

 

Bagaimanalah hujan tidak misterius. Hanya dengan rintiknya yang jatuh ke bumi, bisa menumbuhkan bebijian tanah menjadi tanaman. Hanya dengan rinainya yang menderas, bisa meninabobokan anak bayi dan meninggalkan kenangan bagi anak remaja tanggung seperti aku.

-------------

Langit sore yang temaram seperti menyuruhku tidak meninggalkan gedung bercat oranye ini. Suara guruh terdengar seperti dari balik awan, bersambungan dengan kilat yang seperti lampu blitz. Jelas cuaca ini menghambatku untuk bersegera melangkahkan kaki tanpa takut terguyur hujan.

Beberapa detik, aku menimbang-nimbang. Apa aku pulang saja, dengan resiko basah kuyup karena mantelku tertinggal di rumah, atau aku menunggu di sini hingga langit kembali bersahabat?

Kupandangi sekitarku. Kampusku, kampus FISIP yang identik dengan bangunan bercat jingga ini sudah terlihat sepi. Memang jarang ada perkuliahan di sore hari. Aku saja yang terlewat rajin hingga lupa waktu membaca buku di perpustakaan. Jika bukan karena mendapat tugas dari Pak Kumis, tentu aku tidak akan sudi menyelami rak-rak itu untuk mencari buku dan jurnal ilmiah.

Suara guruh terdengar lagi. Ah, nampaknya memang langit tak mengizinkanku pergi dulu. Dengan berat hati, aku berjalan ke satu-satunya bangunan teraman menurutku, yaitu mushala. Langkahku lebar-lebar, bersaing dengan rintik hujan yang mulai turun.

Keadaan di mushala tak lebih baik. Sepi, lampunya pun belum dinyalakan. Wajar karena hari masih sore, namun rasanya perlu menyalakan penerangan karena alam sekitar yang terasa gelap oleh awan mendung. Setelah melepas sandal dan menaruhnya di pojokan, kulakukan tugasku sebagai seorang pengurus mushala yaitu menyalakan lampu.

Sebetulnya aku tak tahu apakah itu tugasku atau bukan, namun aku merasa punya kewenangan atas mushala karena aku seorang pengurus rohis di sini. Unit kerohanian Islam, tepatnya. Merekalah yang selalu menyalakan sinar terang di mushala ini, baik secara harfiah maupun bukan. Merekalah yang mencoba meneranginya dengan sinar Islam, dengan dakwah kepada penghuni kampus oranye yang kadang seolah lupa pada agama ini.

Baiklah. Kembali kepadaku.

Aku duduk menyila di teras mushala. Menikmati kesendirianku. Menatap lalu lalang dedaunan yang tertendang oleh angin sore dan juga arus air hujan yang mulai menderas. Mendengarkan suara hujan yang seperti magis, membius dalam kenyamanan namun terdapat kemisteriusan di sana. Bagaimanalah hujan tidak misterius. Hanya dengan rintiknya yang jatuh ke bumi, bisa menumbuhkan bebijian tanah menjadi tanaman. Hanya dengan rinainya yang menderas, bisa meninabobokan anak bayi dan meninggalkan kenangan bagi anak remaja tanggung seperti aku.

 

Aku kini memainkan ponsel, membunuh kebosanan. Hujan di sore hari membuatku termenung. Mengapa hujan harus hadir saat aku tidak ingin? Membuatku harus tertahan di sini.

Ketika aku mulai larut dalam pikiran, sebuah suara membuatku menoleh. Bukan, bukan horor, kok. Dari arah samping mushala yang langsung berbatasan dengan ruang jurusanku, seseorang berlarian sambil memayungi kepala dengan tangan. Laki-laki itu nampaknya memilih menerobos hujan tanpa peduli baju kokonya basah dan celana kainnya terkena cipratan air.

Sosok itu melewatiku yang sedang termenung di teras mushala, melewatkan aku yang tanpa sadar menatapnya terus hingga hilang di pandangan. Ia hilang di tepi persimpangan jalan, dugaanku sepertinya ia menuju parkiran.

Aku tidak sadar sudah menatapnya hampir selama satu menit. Pandanganku beralih dari tepian jalan itu, kini menatap lantai mushala.

Siapa dia? Bukan orang spesial, aku bahkan tidak mengenalnya. Namun ia.. membuatku mengingat seseorang lain yang tidak ada di sini sekarang. Seseorang yang pernah menjadi sangat berarti untuk hari-hariku.

Seseorang itu pernah membuat aku tidak bisa mengalihkan pandangan hampir selama bertahun-tahun. Hanya kepada dia, aku melabuhkan harapan. Laki-laki yang kini entah bagaimana kabarnya. Ia meninggalkan aku setelah mencuri sesuatu dariku: hatiku. Sumpah, aku geli sekali menuliskan diksinya.

Agak bodoh dan konyol, memang. Mengapa aku bisa mengingat dia setelah berbulan-bulan tak bertemu atau memikirkannya lagi. Hanya karena melihat sepintas bayangan seperti dirinya, memakai baju koko dan celana kain yang dilipat, kadang berjalan-jalan di sekitar kelasku.

Aku merutuki diriku sendiri. Kenapa pula aku kembali mengingat dia. Aku sudah susah payah menyibukkan diri dan bersikap seolah hidupku tenang sekali. Aku sudah bersusah payah agar tidak dengan latah mengucapkan namanya dalam hatiku, atau tanpa sadar menyebut namanya dalam doaku. Kesusahpayahanku yang akhirnya berbuah selama bulan-bulan ini kini ambyar hanya karena satu bayangan! Ya ampun!

 

Memang benar kata orang. Hanya butuh satu detik untuk jatuh cinta, tapi butuh selamanya untuk melupakan.

Hanya butuh kebiasaan kecil yang dilakukan bersama untuk saling memahami satu sama lain, tapi butuh beratus kilo jarak agar tak lagi saling mengingat.

Ah, budak cinta. Aku.

Rinai air hujan belum juga mau berdamai denganku. Ia masih terus menderas, menumpahkan isi awan hitam yang seperti berbulan-bulan tak dikeluarkan. Aku semakin merapatkan badan ke dinding, mencari kehangatan dari karpet mushala yang apak.

Lagi-lagi, pikiranku melayang. Karena sosok laki-laki yang lewat tadi, membuatku memutar memori dalam pikiran.

Aku dulu pernah begitu menyukai seseorang itu. Hingga tak sadar, seharusnya aku tak boleh membiarkan bibit perasaan ini tumbuh mengakar dan berbuah menjadi buah yang manis namun berduri. Aku jatuh cinta, dengan segala yang aku punya, dengan sepenuh hatiku.

Lantas aku dekat dengan sosok itu, mencari alibi apapun yang membenarkan agar aku dekat dengannya. Padahal seharusnya aku tau, tidak seperti ini Allah mengatur kita jatuh cinta.

Aku buta. Pandanganku tak kujaga, hatiku apalagi. Setiap hari terasa sempurna hingga tiba-tiba, semua kesempurnaan yang kuanggap ajaib itu hilang.

Aku patah hati hanya dengan sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa sebenarnya dia tidak hanya dekat denganku, tapi juga banyak hati yang lain.

Aku hancur, remuk. Menggelikan memang, tapi itu kenyataannya. Hatiku patah, hancur hingga keping terakhir.

Aku terseok-seok bangun. Hatiku menasehati, melawan perintah Allah memang akan menyakitkan akhirnya.

Hatiku bilang, inilah peringatan Allah untukmu.

Agar tak sembarangan menaruh hati, agar hati-hati menjaga perasaan. Agar mengikuti perintah Allah dan mematuhi aturan-Nya. Agar jatuh cinta sewajarnya saja, agar tak sakit akhirnya.

Akhirnya aku paham, sakit hatiku ini karena aku sendiri yang salah.

Dia tak pernah bilang suka padaku, aku hanya menduga-duga. Dia tak pernah bilang akan setia padaku, aku hanya berharap saja. Dan yang paling penting, dia tak pernah bilang akan menikahi aku.

Iya, kan?

Karena tidak ada ikatan antara laki-laki dan perempuan yang halal kecuali pernikahan.

Akhirnya aku bangkit, tertatih menata hati dan melangkah maju. Hingga tiba di tempat ini sekarang, menjadi aku yang sekarang.

Aku sudah sadar, segala aturan Allah itu baik. Segala syariat Allah itu memang harus kita ikuti. Karena kebaikannya, untuk kita sendiri.

Hujan sudah berhenti. Rintiknya berubah menjadi genangan. Basah, menyejukkan. Dedaunan dan rerumputan seolah sehabis mandi, kembali segar. Dan aku baru saja bangun dari lamunanku, tersadar.

Ah, terimakasih hujan. Terimakasih laki-laki misterius yang numpang lewat, membuatku tiba-tiba teringat.

Yang berlalu, biarlah berlalu. Kini saatnya melangkah maju. Sakit, sedih, pahit, itu pasti. Tapi segala kepahitan itu akan menjadi berarti, karena sebuah hikmah yang kita petik untuk pelajaran hati.

Aku tidak menyesal dipertemukan dengan pelajaran yang amat menyakitkan, namun paling berharga itu. Berkatnya, kini aku hati-hati sekali dalam menjaga hati. Tidak kubiarkan lagi aku jatuh pada tempat yang salah, dan membiarkan aku terjebak pada interaksi yang tak sah. Aku tau Allah menjagaku dengan cara-Nya, dan aku juga akan menjaga diriku dengan caraku.

It took a blitz to suddenly remember everything, and im glad i have already passed that one thing.

 

-yang dimulai sejak lama, diselesaikan tanggal 06/04/20. ditulis di tengah semester 1 atau 2 kuliah.

Komentar

Postingan Populer