Cerpen: Mewarnai Luka

Biarlah. Aku akan menunggu dengan hati terbuka, dengan tangan yang terus berbuat sesuatu dan tak diam saja. Karena di sekitar kita, ada banyak hal yang bisa kita ubah menjadi berguna. Ada banyak hal yang bisa dimanfaatkan menjadi lebih berwarna.

----------------


Ada luka yang tersimpan di balik baju hazmat ibuku, juga stetoskop yang selalu menggantung di leher ayahku. Luka yang melemahkan hati, membuat kami merasa seperti tak lagi bisa hidup seperti dulu. Luka itu yang menemani kesendirianku di rumah, mungkin juga menghantui waktu tidur ayah ibuku yang singkat di tempat yang jauh di sana. Dan luka itu, satu-satunya yang tersisa dari perpisahan kami yang tak terencana. Luka rindu, namanya.

Sudah lama sekali sejak aku merasakan kehangatan di rumahku. Ayah sibuk, pekerjaannya sebagai dokter spesialis membuat waktu istirahatnya sempit. Juga ibu yang seorang perawat, waktunya hanya tersisa untukku sedikit. Tapi tak masalah. Aku tumbuh menjadi perempuan yang pemberani dan mandiri. Aku tidak pernah menangis kalau diganggu anak nakal di sekolah, tidak menangis saat berkelahi dengan teman laki-lakiku di SMP, tak menangis juga saat aku dikerjai kakak seniorku di kampus. Aku selalu tumbuh menjadi gadis yang pemberani, kata ibu. Namun sayangnya, keberanian itu kini seolah pupus entah kemana. Saat aku harus pulang ke rumah dan terkurung dari dunia, lalu ibu dan ayah tiba-tiba mendapat panggilan ke rumah sakit, dan tak pulang berhari-hari lamanya. Berhari-hari, berminggu-minggu. Hingga masuk ke hitungan bulan. Ibu dan ayah tidak pernah pulang. Lewat telepon genggam yang langsung kulempar ketika mendengarnya, katanya mereka ditugaskan menjadi dokter dan perawat khusus untuk menangani Covid-19. Tak mungkin bisa pulang, untuk mencegah terjadinya kemungkinan penularan.

Aku marah. Benci, menyalahkan virus kecil tak terlihat itu, yang memporak-porandakan duniaku. Sejak kedatangannya, dunia berubah. Orang-orang terkunci di rumahnya sendiri, anak-anak dipulangkan dari sekolah, orang tua kehilangan pekerjaan. Dan aku, menjadi sendirian.

“Untuk apa semua kesuksesan Ayah dan Ibu, kalau aku harus ditinggalkan?” Bentakku saat itu. Ibu menangis sesenggukan, Ayah kudengar menghela nafas dari seberang telepon.

“Bukan kita yang mau, Nak..” ujar Ayah.

“Kaira benci Ibu dan Ayah!” Teriakku. Aku membanting benda persegi itu hingga casing-nya lepas. Lantas membenamkan kepala pada bantal, dan menangis keras-keras. Aku menyesal mengatakannya, sebab boleh jadi itu kalimat terakhirku yang bisa mereka dengar sebelum maut menjemput mereka. Aku kalut setiap malam. Pikiran itu menghantuiku. Namun sebesar apapun luka hati dan rinduku pada mereka, aku bersumpah tidak akan menjawab panggilan-panggilan Ayah dan Ibu, sebelum mereka pulang ke rumah ini. Titik. Hanya itu yang kumau, melihat Ibu dan Ayah pulang.

Setiap hari, aku menyalahkan pekerjaan Ibu dan Ayah. Seolah karena mereka menjadi tenaga kesehatan, hidupku menjadi tak normal seperti anak lainnya.

“Kenapa mereka harus jadi tenaga kesehatan? Karena kesibukan mereka, aku tumbuh tanpa teman..,” keluhku pada Nadira, sahabatku yang tinggal di seberang rumah.

“Aku kan, temanmu!” Sungutnya. Aku mendelik. “Kamu kan tau maksudku..”

Kalau sudah begitu, ia akan mengalihkan perhatianku pada tugas-tugas kuliah. Kami berdua mengambil jurusan yang sama di sebuah kampus negeri. Karena pandemi, kami terpaksa harus pulang dan berkuliah secara online. Setiap hari, ia akan pergi ke rumahku. Katanya untuk menghiburku. Tapi aku tau, niatnya pasti tak jauh dari numpang wifi.

“Untung ya, Kai. Kita ambil jurusan yang mudah. Coba kalau jurusan kedokteran, mereka harus praktikum dan ujian blok secara online juga. Kan, pusing. Coba kalau kamu dulu masuk kedokteran,” ucapnya sambil terkekeh.

Aku mendengus. “Sampai mati pun aku tidak akan mau masuk kedokteran.”

Nadira hanya menghela nafas. Ia tau, aku sangat benci bidang itu. Bidang yang bagiku merenggut ayah dan ibuku. Itulah sebabnya aku menolak keras saat dulu hendak didaftarkan untuk masuk jurusan kedokteran. Aku tak sudi. Lebih baik aku mengejar passionku di bidang seni.

Omong-omong tentang seni, aku dan Nadira sedang menggarap project kami untuk membuat pameran foto online. Hanya saja aku dan Nadira harus berkeliling kota setiap hari untuk mencari objek foto terbaik. Kami sedang kesulitan, karena karya kami sebelumnya dikomentari dosen tidak kreatif, tidak hidup, monoton.

Aku kesal. Bagaimana tidak sulit jika terhalang Covid-19 dan tetek bengeknya? Akhirnya kami berencana berkeliling kota untuk mencari objek foto. Nadira yang super cerewet selalu mengingatkanku untuk memakai masker dan membawa handsanitizer kemanapun. Aku hanya mengeluh sebal. Menjadi anak dokter dan perawat membuatku lebih paham tentang protokol kesehatan lebih dari siapapun. Carilah alat kesehatan apa saja untuk menghalau Covid di rumahku. Semuanya ada, mulai dari sarung tangan lateks hingga masker N95.

Siang ini, kami hendak melanjutkan mencari objek foto di sekitar perumahan. Suasana siang ini cerah, langit teduh tak berawan. Matahari malu-malu menyembul dari balik kapas putih di langit luas. Cuaca yang pas untuk berkeliling mencari objek foto. Kami memilih tempat paling strategis yang memungkinkan banyak objek untuk dibidik. Tentu saja, perlindungan maksimal sudah kami laksanakan sesuai dengan protokol kesehatan. Aku menjaga diri dengan physical distancing, jauh-jauh dari keramaian. Kubiarkan Nadira mengambil gambar sebanyak mungkin.

Pasar ini lumayan ramai walau siang sudah menjelang, meski tak seramai biasanya saat pandemi belum melanda. Bau daging ayam, sayuran busuk, hingga wangi makanan tercium dari kejauhan. Aku meringis melihat banyak pedagang berlalu lalang menjajakan dagangan tanpa alat perlindungan. Lebih miris melihat seorang anak kecil melintas tanpa masker di wajahnya.

“Kai, kenapa ya, orang-orang banyak yang santai gak pake masker?” Tanya Nadira heran. Aku turut heran, masih banyak orang yang berlalu lalang tanpa memakai alat perlindungan paling minimum ini. Melihatnya membuatku sedih, membayangkan perjuangan ayah dan ibuku nun jauh di sana dengan bergelut nyawa, sementara masih banyak orang-orang yang belum paham pentingnya menjaga diri.

“Sudah ambil gambarnya?” Tanyaku Nadira. Aku tak menjawabnya, hanya langsung mengajaknya pergi dari sana akibat rasa sedih yang tiba-tiba muncul. Mengingat ayah dan ibuku selalu membuat hatiku menjadi kelabu. Luka rindu ini kembali terasa lagi.

Nadira melihatku yang murung, keheranan. Hingga kami berpindah mencari objek foto yang lain, aku masih murung. Di taman, di lapangan kota, hingga di kawasan pertokoan, banyak kulihat orang-orang yang masih beraktivitas tanpa menggunakan masker. Boro-boro physical distancing, cuci tangan pun entah dilakukan atau tidak. Melihatnya membuatku makin sedih. Pantas saja Ayah dan Ibu tidak pulang-pulang, karena masih banyak orang yang abai pada hal ini.

“Kita pulang aja, ya.” Ajakku. Nadira mengernyit.

“Fotonya belum ada yang bagus,”

“Tapi aku mau pulang,” jawabku.

“Kenapa, sih? Perasaan kamu tadi baik-baik aja..,”

Aku masih diam. Kami akhirnya pulang tanpa hasil. Aku tau Nadira marah, tapi aku tak peduli. Pikiran tentang ayah dan ibuku membuatku amat sedih. Kubiarkan Nadira ngambek padaku hingga tak mau bicara.

Aku termenung menatap foto-foto yang hari ini berhasil kami kumpulkan. Pikiran antara kabar orang tuaku dan tugas kuliah berseliweran. Tugas membuat pameran foto online kami buntu. Nadira ngambek, dan aku kembali teringat orang tuaku. Rasanya sakit, luka ini pedih. Dalam keheningan kamarku, aku menangis keras. Ketika malam, perasaan rindu ini menjadi semakin terasa. Luka yang tertoreh karena kesepian membuatku lemah.

Kenapa harus aku? Kenapa harus keluargaku? Setiap hari, ketunggu berita tentang perkembangan Covid-19. Namun semuanya buruk, bahkan membuatku takut jika suatu hari harus mendengar kabar kematian Ibu dan Ayah. Aku takut, jika nantinya aku harus ditinggalkan.

Suara tangisku teredam oleh ringtone ponselku yang tiba-tiba berbunyi nyaring. Aku terdiam, menatap layarnya yang berkedip. Kuseka air mata, lantas duduk bersila.

Demi membaca nama yang tertera, air mataku jatuh lagi. Tangisku pecah lagi. Tumpah, ruah. Membasahi baju tidurku. Tanganku gemetar melihat nama si pemanggil,

Ayah.

Tidak.. tidak. Aku tidak ingin mendengar suara Ayah atau Ibu. Aku tidak mau menangis lebih keras saat nantinya panggilan itu berakhir. Dan yang lebih kutakutkan, aku tidak ingin mendengar kabar buruk. Kumohon, tolong. Aku lebih baik tersiksa oleh luka ini, daripada harus ditinggal sendirian.

Kugenggam benda pipih itu erat-erat, menahan diri sekuat tenaga untuk tak mengangkat panggilan itu. Aku tidak ingin mengingkari janjiku. Aku tidak akan bicara pada Ayah dan Ibu sampai mereka pulang. Tidak akan. Panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Aku menahan tangis sekuat tenaga, membuatku terjaga hingga pagi dengan pikiran buruk di kepala.

***

“Tugas kita kacau kalau kamu nggak mau keluar rumah, Kaira,” ucap Nadira siang ini. Ia membujukku keluar, dan sikapnya melunak melihatku bermata sembab.

“Aku nggak mau,” ujarku kekeuh.

“Tapi pameran foto kita terancam gagal! Kamu kenapa, sih?” Ia mulai tak sabar. Kami terus berdebat, hingga akhirnya kesabarannya habis. “Plis, kali ini aja jangan egois bisa?!” Ucapnya keras.

Demi mendengar itu, aku bangkit berdiri. Belum pernah sekalipun Nadira membentakku. Akhirnya dengan langkah malas, aku mengikutinya keluar. Kami membidik objek-objek dalam diam, saling memusuhi.

Seorang bocah dengan kaos lusuh melintas di hadapanku ketika aku mencari objek foto di taman kota. Ia membawa sekeranjang penuh kacang rebus, menjajakan jualan. Menenteng jualannya ringan, tanpa masker yang ia kenakan. Aku menatapnya miris. Nadira mendekatinya, lantas dengan ramah membeli jualan anak itu. Aku hendak melarang, tapi urung. Bagaimana mungkin ia membeli dagangan yang tak higienis itu? Raut wajahnya seolah menantangku. Apa? Ia memonyongkan bibir. Aku hendak terbahak, tapi kutahan. Kita kan, sedang musuhan.

“Dek, kok ga pake masker?” Tanyaku pada anak itu akhirnya.

Ia menatapku dengan mata bundarnya. “Gak punya, Kak. Masker mahal,” ringisnya.

Aku terdiam. Kutatap anak itu saat ia bercakap-cakap dengan Nadira, hingga punggungnya menghilang di kejauhan. Seolah ada yang menyentilku saat ia bicara. Masker mahal, mending buat beli makan. Trus, modelnya gak bagus-bagus, Kak. Hehehe.

Aku termangu menatap Nadira yang sibuk dengan kameranya. Mungkinkah ia sengaja mengajakku ke sini dan membuatku bicara dengan anak itu?

“Woy, ngelamun aja,” ujarnya. Aku menoleh kaget. Sepertinya ia sudah tidak ngambek lagi padaku. Ia mendekat, menunjukkan hasil fotonya. “Karya kita sama aja. Gak hidup. Pasti dibilang gak kreatif. Trus gimana mau lolos?” Tanyanya putus asa.

Aku masih tenggelam dalam pikiranku. Memikirkan ucapan anak tadi, memikirkan ayah ibuku. Memikirkan pedagang di pasar yang tak memakai masker. Memikirkan stok masker di rumahku yang melimpah ruah. Dan seketika ide muncul di kepalaku kala pedagang balon warna-warni melintas.

Warna-warni.. aku harus membuat sesuatu yang bisa memberi warna untuk tugas fotografi kami.

“Nad, aku tau aku harus ngelakuin sesuatu,” ucapku tanpa sadar. Nadira menoleh, mengernyit. Aku tersenyum. Ya, aku tau.

***

Esoknya, aku berjibaku bersama Nadira menggelar banner-banner dan menyalakan kompor berisi pewarna di taman. Kami sudah mengantongi izin, bahkan Nadira entah bagaimana sudah mengumpulkan anak-anak jalanan di pinggiran kota. Jumlahnya sekitar belasan, bermacam-macam pekerjaan mereka. Mulai dari pengamen hingga pedagang asongan. Nadira sedari tadi mengajak mereka bercanda, sementara aku memilih menyiapkan alat-alat.

Hari ini, kami akan mengajari mereka membuat masker tie-dye, kreasi masker berwarna-warni. Sebelum itu, kuajari mereka cara mencuci tangan yang benar, dan kuberi mereka masker kesehatan yang kuambil dari ruang kerja ayahku.

“Kak, Kak! Kita harus cuci tangan biar gak kena corona, ya?” Tanya anak laki-laki bernama Ahmad, matanya berbinar menunggu jawabanku. Aku tersenyum, mengangguk.

“Iya. Selain itu, kita juga harus physical distancing kayak Kakak sekarang. Kita jangan deket-deket yaa duduknya,”

Mereka mengangguk-angguk, sok paham. Aku tertawa pelan. Kucoba sebisa mungkin menjelaskan pengetahuanku tentang pencegahan Covid-19 agar mereka mengerti. Setelah itu kami mewarnai masker bersama-sama. Anak-anak itu antusias menatapku mencelupkan masker kain ke dalam pewarna, dan juga meneteskan pewarna itu dengan pola abstrak ke kain lainnya. Nadira sibuk membidik wajah-wajah mereka dengan kamera miliknya, berseru-seru senang karena hasilnya bagus. Aku ikut tersenyum kala mereka bersorak saat masker kami sudah jadi.

Kuhadiahi mereka seperangkat alat kesehatan, dan kujanjikan mereka untuk belajar membuat masker lagi besok-besok. Wajah-wajah polos itu tersenyum, bahkan berujar mau mencoba menjual masker tie-dye buatan kami, pasti untung banyak. Aku tertawa mendengarnya, dasar otak jualan.

Ketika mereka pulang, aku tersenyum sembari melambaikan tangan. Hatiku lega sekali rasanya. Seperti ada beban yang terangkat melihat senyum mereka. Aku merasa seperti.. mengikuti Ayah dan Ibu. Aneh, ketika mengingat mereka sekarang, hatiku tak sakit lagi.

Kabar baiknya, Nadira sangat senang melihat hasil bidikan kami yang ia anggap paripurna. “Fotonya hidup! Keren!” Aku nyengir. Memang, melihat senyum mereka membuatku juga kembali hidup.

Kupandangi sisa masker yang tersimpan rapi di kotak. Lantas sebuah ide terlintas. Aku berjanji, program ini tak akan berhenti.

“Nad, bagiin masker ke orang-orang, yuk!”

Ia tersenyum ke arahku. Tanpa kukatakan, sepertinya ia tau, aku telah menemukan kembali keberanianku.

***

Dering handphone malam ini tak membuatku terlonjak. Jemariku tak lagi gemetar kala membaca nama yang tertera, Ibu is calling..

Aku menghela nafas, membangun kesadaran. Hari ini, aku telah belajar satu hal. Bahwa tidak setiap hal bisa berjalan sesuai keinginan. Tapi seburuk apapun keadaan, akan selalu ada pilihan untuk berbuat sesuatu.

Dan aku, malam ini memilih mengumpulkan keberanianku yang telah lama pergi. Kupandangi lekat benda pipih itu, lantas memilih tombol hijau.

Ada jeda yang menyekat sejenak, hingga kemudian suara isak haru terdengar.

“Kaira? Ya Allah, Kai.. akhirnya kamu angkat telepon Ibu..,”

Aku tersenyum dan menjawab, dengan sepenuh kerinduan,

“Ibu. Kaira kangen..,”

Biarlah janjiku tak kutepati. Biarlah Ibu dan Ayah pergi ke sana, berjuang di tempat yang berbeda. Aku akan menunggu dengan hati terbuka, dengan tangan yang terus berbuat sesuatu dan tak diam saja. Karena di sekitar kita, ada banyak hal yang bisa kita ubah menjadi berguna. Ada banyak hal yang bisa dimanfaatkan menjadi lebih berwarna. Dan aku, memilih berdamai dengan diriku. Kaira yang di sini, akan membantu Ayah dan Ibuku berjuang di sana, meski dalam bidang yang berbeda.

Luka ini menutup pelan-pelan. Kuwarnai ia, sesederhana seperti masker tie-dye yang kubuat untuk para anak jalanan. Meski hatiku masih berharap akan ada keajaiban yang membawa Ayah dan Ibu pulang, aku kini telah belajar menerima keadaan. Bahwa dari keadaan terburuk pun, selalu ada yang dapat kita lakukan. Selalu ada peluang untuk bergerak, membuat sebuah keajaiban. Dan aku belajar, berilah jeda untuk lukamu. Di antara luka dan waktu, warnailah ia, hingga waktu memupus rasa sakitnya.

Tamat.


halo, sudah lamaaaaa sekali sejak aku beres beres blog ini :') sore ini, saat melihat arsip tulisan lama, aku menemukan banyak cerpen yang kutulis dulu. aku lupa kenapa, tapi kok belum aku aplot ya? makanya sekarang aku aplot aja deh, soalnya temanya sedikit udah ga relate lagi berhubung pandemi hampir kelar, wkwk. anyway, ini bukan cerpen yang aku puas banget sama hasilnya, tapi sayang aja kalo ga aku aplot. semoga tetap ada kebaikan yang bisa diambil yaah.

semoga bermanfaat! bye byee

Komentar

Postingan Populer