Cerpen: Luka dan Mimpi

 

Satu hal yang harus kau tau: bahwa tak semua kepahitan itu buruk. Justru mungkin tuhan menitipkan satu masalah untukmu, agar kau semakin kuat dan tangguh.

-----------



Prangg!

Suara barang terbanting itu membuat Davina menutup wajah dengan kedua telapak tangan erat-erat. Ia menjerit dalam hati, menahan tangis yang ingin tumpah. Dibenamkan wajahnya ke bantal di pelukannya.

Suara ribut di luar kembali terdengar. Kali ini kedua orang yang sedang cekcok tersebut beradu mulut, saling membantah pendapat masing-masing. Davina tidak tahan lagi. Ia menutup telinga kuat-kuat, berharap tak lagi mendengar apapun. Sudah, cukup sudah. Davina tak lagi ingin mendengar pertengkaran kedua orang itu. Yang seharusnya saling mengisi serta menghargai, menjadikan Davina sebagai anak yang bahagia. Namun yang ia dapat setiap hari hanyalah tekanan seperti ini. Ya, orang tuanyalah yang membuat ia setiap hari merasa tertekan di rumah.

Tolong, berhenti.. lirihnya dalam isak tangis. Davina meraih boneka beruang yang menemaninya sedari kecil, lantas mulai memejamkan mata dan terlelap di sana, dengan wajah yang bengkak akibat menangis.

Hebatnya, bekas pertengkaran itu nyatanya seolah tak terlihat. Setiap pagi, Davina bangun dan mendapati ayah serta ibunya duduk manis di meja makan, menunggunya. Dengan wajah yang seolah baik-baik saja, ibunya akan mengajak Davina berbicara apapun. Dan ia hanya mampu menyembunyikan rasa getir yang merambati hatinya, menganggap ayah dan ibunya tak peka. Sungguh, Davina ingin berontak dengan semua kepalsuan ini. Ia juga memiliki hati seperti anak lainnya. Ingin dicintai dan disayang, diperhatikan. Dan ia sudah tak tahan dengan semua yang terjadi di kehidupannya.

Malam melarut, Davina masih tenggelam dalam air mata di pelupuk. Dipandanginya bintang-gemintang dari jendela kamar. Di luar sana, sinar lembut itu tampak damai dan tenang. Malam seolah tak terusik dengan hatinya yang kacau. Di balik pintu, suara ayah dan ibunya sudah tak lagi terdengar. Davina mendesah pelan. Akankah, pertengkaran mereka malam ini menjadi pertengkaran terakhir mereka? Ia sungguh tak tau.

Dan benar saja, ketika pagi datang, ayah dan ibunya dengan rapi menyembunyikan bekas pertengkaran semalam. Disambutnya Davina dengan wajah penuh senyum. Gadis itu meringis, menangis dalam hati.

“Pagi Ma, Pa.” Sapanya dengan senyum palsu.

“Pagi, sayang,” jawab ibunya dengan senyuman palsu pula.

Davina berangkat sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia hanya menyalami orang tuanya sekenanya sebelum melangkahkan kaki ke luar rumah, menunggu agkutan kota yang akan membawanya pergi ke sekolah. Pikirannya berkelana sementara kakinya melangkah. Akan sampai kapankah ini semua berakhir?

Tiba-tiba sebuah ide gila melintas. Satu hal yang belum pernah ia lakukan, membangkang pada aturan. Ia tak pernah berbuat nakal selama ini. Tak ada salahnya sedikit mencoba hal baru. Ia ingin, sekali saja orang tuanya memperhatikannya. Akhirnya dengan senyum terkembang dan emosi yang menggebu, Davina memutuskan melangkah menjauh dari halte angkot. Ia berjalan tergesa, menuju arah yang bahkan ia belum tahu. Ya, hari ini ia memutuskan akan bolos sekolah.

Langkah kakinya seringan hatinya. Ia tak tau kalau ternyata bolos sekolah bisa semenyenangkan ini. Akan bagaimanakah reaksi ayah dan ibunya? Membayangkannya membuat Davina tertawa geli. Kendaraan berlalu lalang melewatinya, hingga tak sadar hari sudah mulai siang. Davina terus berjalan tak tentu arah. Melintasi jalanan, memasuki gang-gang tak beraturan. Davina tak peduli ke mana kakinya berjalan, ia hanya mengikuti kata hatinya yang sedang kacau.

Hingga sampailah ia pada sebuah tanah lapang kumuh yang tampak dipenuhi beberapa orang. Mereka mengais-ngais tumpukan sampah di pinggiran lapangan, sembari memanggul karung di pundak mereka. Davina mengamati orang-orang itu dari jauh. Didorong rasa lelah karena sudah jauh berjalan, ia akhirnya memutuskan untuk duduk tak jauh dari sana. Ia menyeka keringat di dahi, lantas meluruskan kaki. Cuaca siang ini cukup terik hingga ia harus memayungi kepala dengan tangan untuk melihat keadaan di seberang lapangan.

“Hai.”

Davina menoleh, hampir terjungkal saat tiba-tiba sebuah suara menyapanya. Davina menatap sosok itu dengan pandangan kaget. Anak laki-laki itu mendekat, hendak membantunya, namun urung karena ia sadar jika pakaian kotornya bisa mengotori Davina.

“Kamu siapa?” Tanya gadis itu saat keseimbangannya sudah kembali. Ditatapnya anak laki-laki itu yang terlihat seusia SMP—sebaya dengannya—membawa karung sampah di tangan, persis seperti orang-orang di lapangan sana.

“Namaku Ahmad. Kamu siapa? Kenapa ada di sini? Bukannya ini waktunya sekolah?” Tanya anak laki-laki itu berentetan, heran melihat Davina yang berseragam rapi.

Davina tersenyum kikuk. Tak mungkin ia mengaku membolos. Akhirnya ia menjawab sekenanya saja. “Namaku Davina. Aku sedang jalan-jalan.”

Dan segera saja, mereka terlibat percakapan. Davina yang penasaran dengan kegiatan para pemulung sampah itu, dan Ahmad yang masih terheran-heran kenapa gadis itu bisa sampai ke tempat ini. Keduanya segera menjadi teman baik. Seharian itu, Ahmad menemani Davina berjalan-jalan berkeliling daerah kumuh di sana, sembari mengajaknya mengobrol. Bagi Davina, hari itu berjalan seru. Tak pernah ia merasa selepas ini ketika di rumah maupun di sekolah.

“Ahmad, kamu tidak sekolah?” Tanya Davina di sela perjalanan mereka.

“Bukannya harusnya aku yang bertanya? Kenapa kamu membolos?” Anak itu balik bertanya. Davina nyengir. Rupanya ia ketauan juga.

“Aku sudah tidak sekolah sejak lulus SD.” Jawaban Ahmad membuat Davina menoleh. Ia jadi sedikit merasa bersalah sudah membolos. Tapi perkataan riang Ahmad selanjutnya membuatnya lega. “Tapi nggak papa, kok. Aku ingin bantu orang tuaku, makanya aku memulung sampah.” Davina tersenyum mendengarnya.

Menjelang senja, Davina berpamitan. Keduanya berjanji untuk bertemu lagi besok, dengan syarat Davina tidak boleh bolos sekolah lagi. Ia tertawa mendengar persyaratan Ahmad. Langkah kakinya seringan kapas, seolah beban yang ia rasakan tadi pagi menghilang meski sementara. Berbincang dengan Ahmad dan melihat kehidupan di luar sana ternyata membuatnya lebih riang.

Sayangnya, Davina tidak tau, aksi bolosnya hari itu membawa buntut panjang. Orang tuanya mencarinya ke sekolah, lantas khawatir mendengar anak mereka tak masuk sekolah. Sepulangnya ia ke rumah, ibu dan ayahnya sudah menanti. Davina tak pernah menyangka akan disambut dengan wajah panik ibunya, serta raut marah ayahnya.

“Mama gak pernah ajarin kamu bolos kan, Dav?” Perkataan mamanya mebuat Davina mematung seketika. Ia terdiam menahan air mata.

“Sejak kapan anak Papa bolos? Kamu jangan malu-maluin, Nak!” Satu tetes air mata jatuh ke pipi, Davina tak tahan lagi. Ia sungguh menyesal, namun hatinya lebih terluka karena ternyata ayah dan ibunya lebih mempedulikan reputasi mereka.

“Memangnya Papa sama Mama pernah peduli sama perasaan Davina? Pernah dengerin Davina? Tau apa yang Davina rasakan? Enggak, kan?”

Perkataannya membuat ayah dan ibunya tersentak. Terdiam, terkesima menatap putri semata wayang mereka menangis.

“Davina pengin punya ayah dan ibu yang normal! Yang akur, dan nggak penuh kepalsuan seperti Mama dan Papa!” Gadis itu menjerit, lantas berlari menjauh. Hatinya kacau, emosinya tak tertahankan. Tak ia pedulikan panggilan Mama dan Papanya saat ia kabur menaiki angkutan kota yang lewat, menjauh sebisa mungkin.

Tangisnya pecah. Di angkot itu, ia menangis sesenggukan. Tak ia pedulikan berpasang mata yang menatapnya aneh. Hatinya terlalu sakit untuk diajak bekerjasama. Pada akhirnya setelah ia berhasil mengumpulkan kesadaran, ia meminta diturunkan di lapangan tempat ia bertemu Ahmad tadi siang. Masih dengan wajah setengah basah, ia berjalan tak tentu arah.

“Davina?” Sebuah suara memanggilnya. Davina menoleh, dan langsung tersenyum lega menatap Ahmad di sana.

“Kamu ngapain sore-sore ke sini lagi? Kita kan, janjiannya besok!”

“Eh, eh, kamu nangis?” Ahmad bertanya panik.

Dengan setengah menangis, akhirnya Davina menjawab patah-patah. “Aku kabur dari rumah..”

Ahmad heran bukan kepalang. Gadis itu benar-benar nekat. Beruntung, Davina tak diganggu preman atau lainnya. Akhirnya karena kasihan, Ahmad membawa Davina ke rumahnya.

Betapa kagetnya Davina menatap rumah usang di pinggir kota itu. Penuh atap seng yang berlubang, dengan dinding bertambal-tambal, di sanalah Ahmad, dua saudara, serta orang tuanya tinggal. Mereka kaget dengan kedatangan Davina, namun tetap menyambutnya hangat. Ia disuguhi makanan sederhana, namun cukup membuatnya tersenyum haru.

Di sana, Davina juga berkenalan dengan beberapa teman sebaya yang tinggal satu komplek di perumahan kumuh itu. Yang membuatnya sedih, mereka masih kecil, namun sudah putus sekolah, sama seperti Ahmad. Ia seketika lupa dengan kesedihannya. Hingga malam, ia bermain dengan anak-anak pemulung itu. Berpura-pura menjadi guru, menjelaskan baca tulis, hingga menghitung. Ia tersenyum menatap sorot wajah anak-anak pemulung itu kala belajar. Rasanya menyenangkan sekali. Seperti lupa semua beban saat menghadirkan harapan di wajah orang lain. Sampai akhirnya, Ahmad memanggilnya.

“Aku antar kamu pulang, ya.”

Davina menggeleng tegas. “Aku gak mau pulang, Ahmad!”

“Tapi orang tua kamu pasti khawatir..”

“Mereka nggak sayang sama aku!”

Ahmad menghela nafas. “Tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya.  Hanya saja, cara setiap orang tua mengungkapkannya berbeda, Davina.”

Gadis itu menangis tergugu. “Lalu kenapa mereka selalu bertengkar di belakangku?”

Ahmad terdiam.

“Mungkin, mereka sekuat tenaga menyembunyikannya di belakangmu agar kamu tidak terluka..”

Davina menoleh. Ada bagian dalam hati kecilnya yang tersentil. Benar juga, selama ini ayah dan ibunya tdak pernah menampakkan permasalahan mereka di depannya. Mungkin mereka ingin menjaganya dengan cara itu.

“Pulanglah. Aku antar.”

Kata-kata Ahmad akhirnya Davina turuti. Sepanjang perjalanan pulang, ia tenggelam dalam pikiran. Sepertinya Ahmad benar. Ia mungkin selama ini tak pernah melihat dari kedua sisi. Mungkin juga ia butuh melihat lebih banyak ke luar dunianya agar semakin mensyukuri hidup. Davina mendapat satu pemahaman malam itu. Bahwa tak semua kepahitan itu buruk. Justru mungkin tuhan menitipkan satu masalah untukmu, agar kau semakin kuat dan tangguh.

Ayah dan ibunya sudah menunggu. Mereka menyambut di depan rumah dengan bersimbah air mata. Davina ikut menangis tersedu. Ia menangis dalam dekapan mamanya yang hangat, dalam pelukan papanya yang tegap.

Di bawah siraman sinar bulan malam itu, kejujuran akhirnya terungkapkan di antara mereka.

“Mama dan Papa minta maaf..”

“Izinkan kami memperbaiki semuanya, Nak. Kasih kami kesempatan, ya.”

Davina mengangguk kuat-kuat. Ia menangis lagi. Tapi kali ini, bukan lagi tangisan luka, melainkan tangis haru dari dalam hatinya. Ahmad memandangi keluarga itu sambil tersenyum.

“Mama, Papa, kenalkan, ini teman Davina. Namanya Ahmad.” Ia tersenyum memperkenalkan anak laki-laki yang menjadi temannya hari ini. Yang sudah membantunya melewati luka, sekaligus menumbuhkan satu mimpi baru di kehidupannya.

“Ma, Pa. Davina punya impian. Bolehkah Davina mengajari pelajaran untuk anak-anak pemulung yang putus sekolah?”

Mereka bertatapan sejenak. Lalu dengan bangga, mama dan papanya mengangguk. “Boleh. Sangat boleh.”

Davina dan Ahmad tersenyum. Ia yakin, dengan berbagi pada sesama, ia akan mudah menghilangkan kesedihan dan beban di hatinya. Hari ini, setelah ia melewati semua ini, ia tak mau lagi tenggelam dalam air mata. Saatnya membuka mata untuk dunia, karena banyak yang tak seberuntung dirimu di luar sana. Ia paham, tak baik fokus pada kesedihanmu, karena masih banyak hal baik pada dirimu yang tak orang lain punya.

Karena itulah, hari itu Davina putuskan untuk membuang semua luka, dan memupuk impian baru yang akan ia jadikan nyata. Mulai hari ini, luka dalam hati Davina akan digantikan dengan sang mimpi yang baru.

 ----

ditulis untuk apa, aku juga lupa. dari pada mengendap di draft, aku harap cerpen ini bermanfaat untuk kamu yang membaca!

Komentar

Postingan Populer