Cerpen: Luka dan Mimpi
Prangg!
Suara
barang terbanting itu membuat Davina menutup wajah dengan kedua telapak tangan
erat-erat. Ia menjerit dalam hati, menahan tangis yang ingin tumpah. Dibenamkan
wajahnya ke bantal di pelukannya.
Suara
ribut di luar kembali terdengar. Kali ini kedua orang yang sedang cekcok
tersebut beradu mulut, saling membantah pendapat masing-masing. Davina tidak
tahan lagi. Ia menutup telinga kuat-kuat, berharap tak lagi mendengar apapun.
Sudah, cukup sudah. Davina tak lagi ingin mendengar pertengkaran kedua orang
itu. Yang seharusnya saling mengisi serta menghargai, menjadikan Davina sebagai
anak yang bahagia. Namun yang ia dapat setiap hari hanyalah tekanan seperti
ini. Ya, orang tuanyalah yang membuat ia setiap hari merasa tertekan di rumah.
Tolong,
berhenti.. lirihnya dalam isak tangis. Davina
meraih boneka beruang yang menemaninya sedari kecil, lantas mulai memejamkan
mata dan terlelap di sana, dengan wajah yang bengkak akibat menangis.
Hebatnya,
bekas pertengkaran itu nyatanya seolah tak terlihat. Setiap pagi, Davina bangun
dan mendapati ayah serta ibunya duduk manis di meja makan, menunggunya. Dengan
wajah yang seolah baik-baik saja, ibunya akan mengajak Davina berbicara apapun.
Dan ia hanya mampu menyembunyikan rasa getir yang merambati hatinya, menganggap
ayah dan ibunya tak peka. Sungguh, Davina ingin berontak dengan semua kepalsuan
ini. Ia juga memiliki hati seperti anak lainnya. Ingin dicintai dan disayang,
diperhatikan. Dan ia sudah tak tahan dengan semua yang terjadi di kehidupannya.
Malam
melarut, Davina masih tenggelam dalam air mata di pelupuk. Dipandanginya
bintang-gemintang dari jendela kamar. Di luar sana, sinar lembut itu tampak
damai dan tenang. Malam seolah tak terusik dengan hatinya yang kacau. Di balik
pintu, suara ayah dan ibunya sudah tak lagi terdengar. Davina mendesah pelan.
Akankah, pertengkaran mereka malam ini menjadi pertengkaran terakhir mereka? Ia
sungguh tak tau.
Dan
benar saja, ketika pagi datang, ayah dan ibunya dengan rapi menyembunyikan
bekas pertengkaran semalam. Disambutnya Davina dengan wajah penuh senyum. Gadis
itu meringis, menangis dalam hati.
“Pagi
Ma, Pa.” Sapanya dengan senyum palsu.
“Pagi,
sayang,” jawab ibunya dengan senyuman palsu pula.
Davina
berangkat sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia hanya menyalami orang tuanya
sekenanya sebelum melangkahkan kaki ke luar rumah, menunggu agkutan kota yang
akan membawanya pergi ke sekolah. Pikirannya berkelana sementara kakinya
melangkah. Akan sampai kapankah ini semua berakhir?
Tiba-tiba
sebuah ide gila melintas. Satu hal yang belum pernah ia lakukan, membangkang
pada aturan. Ia tak pernah berbuat nakal selama ini. Tak ada salahnya sedikit
mencoba hal baru. Ia ingin, sekali saja orang tuanya memperhatikannya. Akhirnya
dengan senyum terkembang dan emosi yang menggebu, Davina memutuskan melangkah
menjauh dari halte angkot. Ia berjalan tergesa, menuju arah yang bahkan ia
belum tahu. Ya, hari ini ia memutuskan akan bolos sekolah.
Langkah
kakinya seringan hatinya. Ia tak tau kalau ternyata bolos sekolah bisa
semenyenangkan ini. Akan bagaimanakah reaksi ayah dan ibunya? Membayangkannya
membuat Davina tertawa geli. Kendaraan berlalu lalang melewatinya, hingga tak
sadar hari sudah mulai siang. Davina terus berjalan tak tentu arah. Melintasi
jalanan, memasuki gang-gang tak beraturan. Davina tak peduli ke mana kakinya
berjalan, ia hanya mengikuti kata hatinya yang sedang kacau.
Hingga
sampailah ia pada sebuah tanah lapang kumuh yang tampak dipenuhi beberapa
orang. Mereka mengais-ngais tumpukan sampah di pinggiran lapangan, sembari
memanggul karung di pundak mereka. Davina mengamati orang-orang itu dari jauh.
Didorong rasa lelah karena sudah jauh berjalan, ia akhirnya memutuskan untuk
duduk tak jauh dari sana. Ia menyeka keringat di dahi, lantas meluruskan kaki.
Cuaca siang ini cukup terik hingga ia harus memayungi kepala dengan tangan
untuk melihat keadaan di seberang lapangan.
“Hai.”
Davina
menoleh, hampir terjungkal saat tiba-tiba sebuah suara menyapanya. Davina
menatap sosok itu dengan pandangan kaget. Anak laki-laki itu mendekat, hendak
membantunya, namun urung karena ia sadar jika pakaian kotornya bisa mengotori
Davina.
“Kamu
siapa?” Tanya gadis itu saat keseimbangannya sudah kembali. Ditatapnya anak
laki-laki itu yang terlihat seusia SMP—sebaya dengannya—membawa karung sampah
di tangan, persis seperti orang-orang di lapangan sana.
“Namaku
Ahmad. Kamu siapa? Kenapa ada di sini? Bukannya ini waktunya sekolah?” Tanya
anak laki-laki itu berentetan, heran melihat Davina yang berseragam rapi.
Davina
tersenyum kikuk. Tak mungkin ia mengaku membolos. Akhirnya ia menjawab
sekenanya saja. “Namaku Davina. Aku sedang jalan-jalan.”
Dan
segera saja, mereka terlibat percakapan. Davina yang penasaran dengan kegiatan
para pemulung sampah itu, dan Ahmad yang masih terheran-heran kenapa gadis itu
bisa sampai ke tempat ini. Keduanya segera menjadi teman baik. Seharian itu,
Ahmad menemani Davina berjalan-jalan berkeliling daerah kumuh di sana, sembari
mengajaknya mengobrol. Bagi Davina, hari itu berjalan seru. Tak pernah ia
merasa selepas ini ketika di rumah maupun di sekolah.
“Ahmad,
kamu tidak sekolah?” Tanya Davina di sela perjalanan mereka.
“Bukannya
harusnya aku yang bertanya? Kenapa kamu membolos?” Anak itu balik bertanya.
Davina nyengir. Rupanya ia ketauan juga.
“Aku
sudah tidak sekolah sejak lulus SD.” Jawaban Ahmad membuat Davina menoleh. Ia
jadi sedikit merasa bersalah sudah membolos. Tapi perkataan riang Ahmad
selanjutnya membuatnya lega. “Tapi nggak papa, kok. Aku ingin bantu orang
tuaku, makanya aku memulung sampah.” Davina tersenyum mendengarnya.
Menjelang
senja, Davina berpamitan. Keduanya berjanji untuk bertemu lagi besok, dengan
syarat Davina tidak boleh bolos sekolah lagi. Ia tertawa mendengar persyaratan
Ahmad. Langkah kakinya seringan kapas, seolah beban yang ia rasakan tadi pagi
menghilang meski sementara. Berbincang dengan Ahmad dan melihat kehidupan di
luar sana ternyata membuatnya lebih riang.
Sayangnya,
Davina tidak tau, aksi bolosnya hari itu membawa buntut panjang. Orang tuanya
mencarinya ke sekolah, lantas khawatir mendengar anak mereka tak masuk sekolah.
Sepulangnya ia ke rumah, ibu dan ayahnya sudah menanti. Davina tak pernah
menyangka akan disambut dengan wajah panik ibunya, serta raut marah ayahnya.
“Mama
gak pernah ajarin kamu bolos kan, Dav?” Perkataan mamanya mebuat Davina
mematung seketika. Ia terdiam menahan air mata.
“Sejak
kapan anak Papa bolos? Kamu jangan malu-maluin, Nak!” Satu tetes air mata jatuh
ke pipi, Davina tak tahan lagi. Ia sungguh menyesal, namun hatinya lebih
terluka karena ternyata ayah dan ibunya lebih mempedulikan reputasi mereka.
“Memangnya
Papa sama Mama pernah peduli sama perasaan Davina? Pernah dengerin Davina? Tau
apa yang Davina rasakan? Enggak, kan?”
Perkataannya
membuat ayah dan ibunya tersentak. Terdiam, terkesima menatap putri semata
wayang mereka menangis.
“Davina
pengin punya ayah dan ibu yang normal! Yang akur, dan nggak penuh kepalsuan
seperti Mama dan Papa!” Gadis itu menjerit, lantas berlari menjauh. Hatinya
kacau, emosinya tak tertahankan. Tak ia pedulikan panggilan Mama dan Papanya
saat ia kabur menaiki angkutan kota yang lewat, menjauh sebisa mungkin.
Tangisnya
pecah. Di angkot itu, ia menangis sesenggukan. Tak ia pedulikan berpasang mata
yang menatapnya aneh. Hatinya terlalu sakit untuk diajak bekerjasama. Pada
akhirnya setelah ia berhasil mengumpulkan kesadaran, ia meminta diturunkan di
lapangan tempat ia bertemu Ahmad tadi siang. Masih dengan wajah setengah basah,
ia berjalan tak tentu arah.
“Davina?”
Sebuah suara memanggilnya. Davina menoleh, dan langsung tersenyum lega menatap
Ahmad di sana.
“Kamu
ngapain sore-sore ke sini lagi? Kita kan, janjiannya besok!”
“Eh,
eh, kamu nangis?” Ahmad bertanya panik.
Dengan
setengah menangis, akhirnya Davina menjawab patah-patah. “Aku kabur dari
rumah..”
Ahmad
heran bukan kepalang. Gadis itu benar-benar nekat. Beruntung, Davina tak
diganggu preman atau lainnya. Akhirnya karena kasihan, Ahmad membawa Davina ke
rumahnya.
Betapa
kagetnya Davina menatap rumah usang di pinggir kota itu. Penuh atap seng yang
berlubang, dengan dinding bertambal-tambal, di sanalah Ahmad, dua saudara,
serta orang tuanya tinggal. Mereka kaget dengan kedatangan Davina, namun tetap
menyambutnya hangat. Ia disuguhi makanan sederhana, namun cukup membuatnya
tersenyum haru.
Di
sana, Davina juga berkenalan dengan beberapa teman sebaya yang tinggal satu
komplek di perumahan kumuh itu. Yang membuatnya sedih, mereka masih kecil,
namun sudah putus sekolah, sama seperti Ahmad. Ia seketika lupa dengan
kesedihannya. Hingga malam, ia bermain dengan anak-anak pemulung itu.
Berpura-pura menjadi guru, menjelaskan baca tulis, hingga menghitung. Ia
tersenyum menatap sorot wajah anak-anak pemulung itu kala belajar. Rasanya
menyenangkan sekali. Seperti lupa semua beban saat menghadirkan harapan di
wajah orang lain. Sampai akhirnya, Ahmad memanggilnya.
“Aku
antar kamu pulang, ya.”
Davina
menggeleng tegas. “Aku gak mau pulang, Ahmad!”
“Tapi
orang tua kamu pasti khawatir..”
“Mereka
nggak sayang sama aku!”
Ahmad
menghela nafas. “Tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya. Hanya saja, cara setiap orang tua
mengungkapkannya berbeda, Davina.”
Gadis
itu menangis tergugu. “Lalu kenapa mereka selalu bertengkar di belakangku?”
Ahmad
terdiam.
“Mungkin,
mereka sekuat tenaga menyembunyikannya di belakangmu agar kamu tidak terluka..”
Davina
menoleh. Ada bagian dalam hati kecilnya yang tersentil. Benar juga, selama ini
ayah dan ibunya tdak pernah menampakkan permasalahan mereka di depannya.
Mungkin mereka ingin menjaganya dengan cara itu.
“Pulanglah.
Aku antar.”
Kata-kata
Ahmad akhirnya Davina turuti. Sepanjang perjalanan pulang, ia tenggelam dalam
pikiran. Sepertinya Ahmad benar. Ia mungkin selama ini tak pernah melihat dari
kedua sisi. Mungkin juga ia butuh melihat lebih banyak ke luar dunianya agar
semakin mensyukuri hidup. Davina mendapat satu pemahaman malam itu. Bahwa tak
semua kepahitan itu buruk. Justru mungkin tuhan menitipkan satu masalah
untukmu, agar kau semakin kuat dan tangguh.
Ayah
dan ibunya sudah menunggu. Mereka menyambut di depan rumah dengan bersimbah air
mata. Davina ikut menangis tersedu. Ia menangis dalam dekapan mamanya yang
hangat, dalam pelukan papanya yang tegap.
Di
bawah siraman sinar bulan malam itu, kejujuran akhirnya terungkapkan di antara
mereka.
“Mama
dan Papa minta maaf..”
“Izinkan
kami memperbaiki semuanya, Nak. Kasih kami kesempatan, ya.”
Davina
mengangguk kuat-kuat. Ia menangis lagi. Tapi kali ini, bukan lagi tangisan
luka, melainkan tangis haru dari dalam hatinya. Ahmad memandangi keluarga itu
sambil tersenyum.
“Mama,
Papa, kenalkan, ini teman Davina. Namanya Ahmad.” Ia tersenyum memperkenalkan
anak laki-laki yang menjadi temannya hari ini. Yang sudah membantunya melewati
luka, sekaligus menumbuhkan satu mimpi baru di kehidupannya.
“Ma,
Pa. Davina punya impian. Bolehkah Davina mengajari pelajaran untuk anak-anak
pemulung yang putus sekolah?”
Mereka
bertatapan sejenak. Lalu dengan bangga, mama dan papanya mengangguk. “Boleh.
Sangat boleh.”
Davina
dan Ahmad tersenyum. Ia yakin, dengan berbagi pada sesama, ia akan mudah
menghilangkan kesedihan dan beban di hatinya. Hari ini, setelah ia melewati
semua ini, ia tak mau lagi tenggelam dalam air mata. Saatnya membuka mata untuk
dunia, karena banyak yang tak seberuntung dirimu di luar sana. Ia paham, tak
baik fokus pada kesedihanmu, karena masih banyak hal baik pada dirimu yang tak
orang lain punya.
Karena
itulah, hari itu Davina putuskan untuk membuang semua luka, dan memupuk impian
baru yang akan ia jadikan nyata. Mulai hari ini, luka dalam hati Davina akan
digantikan dengan sang mimpi yang baru.
Komentar
Posting Komentar