Ghiyaats & Nisa —Our Story
Its such a beautiful idea;
When you do your way, and i do mine. We walk our own path, before meeting each other in the end of the struggle.. to continue the journey together, within Allah’s plan for each other.
—Nisa’s POV
Turki, 2021.
Ada hati yang tertinggal di Istanbul. Saat kepingan salju pertama kali turun menyiram musim dingin. Pucuk-pucuk bunga tulip masih terkubur dalam tanah yang lembap, dan desau angin menerbangkan ujung baju dalam suhu yang kering.
Aku bertemu dengannya di sebuah konferensi dan tergabung menjadi sebuah kelompok. Bukan pertemuan pertama, sebenarnya. Namun kali ini lebih terasa.
Malam itu, di pinggiran kota Istanbul yang bersuhu minus. Di bawah atap Ramada Hotel, ada pertemuan singkat yang akan mengubahku seumur hidup.
“Halo..” sapaku pertama kali.
“Halo, kamu yang namanya Nisa ya?”
“Iya,”
“Kamu anak Bright Scholarship juga ya?”
“Iya, kamu anak BS UNS ya?”
Dan begitulah percakapan bermula. Kami baru sadar, kami sudah pernah bertemu sebelumnya dan tergabung dalam satu beasiswa yang sama. Kebetulan yang manis, sebab pertemuan singkat dalam tiga hari itu mengubah tiga tahun hidupku setelahnya.
Aku meninggalkan Turki yang kala itu mulai menyambut musim semi. Kuncup-kuncup tulip mulai terlihat. Pucuknya menyembul malu di halaman Masjid Ayasofya, tersirami sinar matahari yang menghangat.
Saat itu, kukira perasaan kagum sekelebat ini akan mereda, sejauh jarak memisahkan kami.
Nyatanya, perasaan ini tidak pernah surut, meski tahun-tahun berlalu tanpa komunikasi yang berarti. Tahun-tahun berlalu tanpa kelanjutan kisah. Tanpa ada pertemuan, tanpa ada celah yang memungkinkan kami untuk saling bicara.
2021-2022
Dua tahunku aku lewati dengan sibuk. Tenggelam dalam kesibukan organisasi kampus, memimpin BEM, menjadi kakak asrama, hingga lupa pada urusan hati. Hari-hari yang penuh hiruk pikuk, menumbuhkanku menjadi diriku saat ini. Mengurusi ummat, membuatku lupa pada urusan sendiri, apalagi hanya masalah hati.
Tapi nyatanya, in the end of the day, perasaan itu tetap sama. Meski tidak ada yang bisa kulakukan, sebab tidak ada jalan bagi kami berkomunikasi.
Maka, satu-satunya yang bisa aku lakukan, hanya meminta Allah untuk menghapusnya, menggantinya, memperbaikinya. Berharap suatu saat, hatiku mendapat jawaban terbaiknya, meskipun bahkan bila bukan dia orangnya.
Purwokerto, 2023.
Di hari-hari awal tahun yang dingin, hatiku menjadi ringan sebab sepertinya Allah menjawab doaku. Aku berhasil tidak jatuh cinta lagi, berhasil lupa, dan berhasil tidak berharap. Aku berhenti suka.
Tidak ada lagi doa-doa galau meminta jodoh, yang ada hanya aku yang fokus pada diri sendiri dan memperbaiki hati selepas perjalanan hidup yang rumit.
Tidak ada lagi kegalauan hati yang bimbang, aku fokus penuh pada tujuan masa depan. Sambil menata diri, memantaskan untuk siapa saja nanti.
Rasanya hari-hari menjadi tenang dan ringan. Tidak ada harapan tak berkesudahan, apalagi galau pada apa yang tak pasti. Aku sampai pada fase diri yang tenang dan lapang.
Hingga suatu sore, muncul pesan yang kembali membuat risau.
Abdurrahman Ghiyaats sends you a message.
Ya Allah, inikah akhirnya jawaban dari doa, atau hanya ujian yang datang sementara?
—Ghiyaats’ POV
Dua tahun berlalu.
Aku hanya merapal doa, kuserahkan segala ikhtiar hamba ya Allah, mengharapkan takdir terbaik yang akan Kau berikan kepada hamba-Mu.
"Laa haula, wa laa quwwata, illa bika ya Rabbana..”
Nangis banget baca ceritanya
BalasHapus