POTRET PEREMPUAN DALAM IKLAN TELEVISI INDONESIA: STUDI KASUS IKLAN PARFUM AXE




Abstract
Women are often used as symbols of. Women in the media are usually used as objects to attract buyers through the image of sexuality and as a symbol of domestic territory. This article relates to the portraits of women in television commercials in Indonesia with a case study of Axe perfume ads airing on television. This article will see the Axe ad value through the semiotic theory. The findings show that the portraits of women in television as the object of sexuality as well as the commercial market. The presence of women in the Axe perfume became the main attraction in advertising to bring out the value of sexuality and male-dominated female roles.
Keywords: women, television ads, semiotic, sexuality object

Abstrak
Perempuan seringkali dijadikan simbol keindahan dan kecantikan. Perempuan dalam media biasanya dijadikan sebagai objek untuk menarik minat pembeli melalui gambaran seksualitas maupun sebagai simbol wilayah domestik. Artikel ini berkaitan dengan potret perempuan dalam iklan televisi di Indonesia dengan studi kasus iklan parfum Axe yang tayang di televisi. Artikel ini akan melihat nilai iklan Axe melalui teori semiotika. Temuan menunjukkan bahwa potret perempuan dalam televisi sebagai pihak yang dijadikan objek seksualitas dan juga pasar komersial. Adanya perempuan dalam parfum Axe menjadi daya tarik utama dalam iklan untuk menonjolkan nilai seksualitas dan peran perempuan yang didominasi laki-laki.
Kata kunci: perempuan, iklan televisi, semiotika, objek seksual

Pendahuluan
Keindahan merupakan hal yang menjadi salah satu insting mendasar manusia. Manusia cenderung suka melihat hal yang indah ataupun cantik. Dua hal ini sering disimbolkan dengan kaum wanita, sebagai tanda keindahan dan kecantikan. Kecantikan, meski dikatakan relatif, nyatanya masih memiliki standar dalam masyarakat. Di Indonesia, ada Suku Dayak yang menganggap wanita cantik yaitu yang memanjangkan telinganya. Ada pula wanita jawa kuno yang menganggap wanita cantik itu yang berkulit sawo matang. Standar ini pun berbeda dengan standar kecantikan wanita-wanita Eropa atau Afrika. Standar kecantikan wanita berbeda-beda di setiap daerah tergantung kepada budaya masing-masing. Seiring berjalannya waktu, standar kecantikan wanita Indonesia dipengaruhi oleh pandangan media. Hal ini berakar dari pandangan iklan produk kecantikan yang akhirnya mengubah pandangan tentang penilaian cantik. Iklan mengajarkan bahwa wanita cantik ialah yang berkulit putih, berhidung mancung, berwajah tirus, dan berkulit halus. Karena standar ini,  tidak jarang   perempuan   Indonesia   membeli   produk kecantikan dari luar yang  sangat  mahal  hanya  untuk  merubah  penampilan mereka   layaknya   perempuan   luar   negeri (Wirasari, 2016).

Selain penggambaran wanita sebagai objek keindahan, wanita juga diposisikan sebagai pihak yang menjadi penyokong. Dalam budaya Jawa, wanita merupakan pihak yang melayani, memotivasi, dan menata (El Sawa dalam Hermawan & Hamzah, 2017). Sedangkan dalam budaya Sunda, konsep feminin dikaitkan dengan kehormatan dan keterbatasan (Nugraha dalam Hermawan & Hamzah, 2017). Pandangan mengenai perempuan sebagai kaum terbelakang banyak dikritik oleh para penganut feminis. Namun meski demikian, gambaran perempuan sebagai kaum kelas dua masih belum pudar. Hal ini juga ditambah dengan citra perempuan di televisi dalam tayangan iklan maupun konten lainnya.

Perempuan dalam tayangan televisi seringkali digambarkan sebagai pihak yang dieksploitasi keindahannya, mulai dari penataan gaya busana, cara berjalan, teks, hingga gambar-gambar yang menunjukkan perempuan sebagai objek seksualitas. Perempuan dalam berbagai media ditampilkan dengan pakaian yang minim, bagian tubuh tertentu yang terbuka, dan berbagai gaya lain yang menjadi daya tarik bagi produk yang diiklankan. Selain sebagai objek seksualitas, perempuan juga diposisikan sebagai pihak yang berkutat dengan urusan domestik, seperti pada iklan pembersih pakaian, mesin cuci, pel lantai, perempuan dijadikan tokoh yang melakukan segala aktivitas yang melibatkan produk-produk rumah tangga tersebut. Misalnya, perempuan sebagai tokoh yang mengepel lantai sementara ayah dan anak berlarian di atas lantai, dan perempuan sebagai pihak yang mencuci baju saat ayah dan anak bermain air, dan sebagainya. Ada pula iklan Parfum Axe yang menggambarkan wanita dengan image yang seksi dan menggoda, sebagai pasangan dari laki-laki yang maskulin.

Contoh di atas menunjukkan perempuan sebagai objek seksual dan pihak yang menyokong laki-laki masih banyak terdapat di televisi, terutama pada iklan produk tertentu. Iklan tidak hanya mempersuasi orang tentang kegunaan dan nilai berharganya suatu produk, melainkan juga menjadi sarana utama kekuasaan dalam masyarakat kontemporer yang membantu dalam mengembangkan konsepsi atau gambaran identitas (Hermawan & Hamzah, 2017). Dalam hal ini, iklan menjadi penguat konsepsi bahwa wanita adalah kaum yang dapat dinikmati kecantikannya secara cuma-cuma dan menjadi pihak penyokong, terutama dalam sektor domestik.

Berdasarkan fenomena di atas, penulis hendak memaparkan analisis terhadap iklan Parfum Axe terkait potret perempuan sebagai objek seksualitas dan penyokong sektor domestik yang ditayangkan di televisi. Tujuan dari penulisan artikel ini yaitu untuk memahami bagaimana wanita digambarkan dalam iklan televisi.

Perempuan dalam Dunia Periklanan
Perempuan dalam dunia periklanan diibaratkan seperti pemanis dan penarik perhatian. Dengan adanya perempuan dalam iklan, menjadikan produk tersebut mudah diterima. Misalnya produk kecantikan harus diperankan oleh perempuan yang memiliki wajah yang cantik, kulit yang halus mulus serta bentuk tubuh yang dapat memikat konsumen. Produk shampoo diperankan oleh perempuan yang berambut panjang dan indah agar  misalnya agar menimbulkan kesan yang positif terhadap kegunaannya. Semua ini dilakukan oleh pembuat iklan karena perempuan memiliki sifat lemah lembut, mudah diatur dalam setiap aktifitas periklanan serta pandai mempengaruhi keinginan konsumen. Dengan kriteria-kriteria yang dimiliki perempuan maka sangat mudah dalam proses pembuatan iklan (Asmaunizar, 2015).

Selain beberapa kriteria di atas, pengeksploitasian perempuan dalam periklanan juga dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain yaitu perempuan lebih mondominasi dalam rumah tangga, terutama dalam bidang domestik. Peran perempuan dalam masyarakat sebagai ibu rumah tangga yang melaksanakan aktivitas rumah tangga menjadi sasaran pembuat iklan. Oleh sebab itu produk-produk kebutuhan rumah tangga lebih diutamakan kepada kaum perempuan. Agar lebih meyakinkan, dipilihlah peran perempuan dalam iklan untuk menggambarkan produk tersebut. Dari contoh tersebut, dapat dilihat peran perempuan dalam dunia periklanan sangat dominan. Oleh karena itu, untuk memerankan peran rumah tangga dan dunia kecantikan, dunia periklanan cenderung mengekploitasi kaum perempuan (Asmaunizar, 2015).

Selain sebagai penyokong utama dalam sektor domestik, perempuan diibaratkan sebagai objek seksual yang indah dan memikat. Misalnya, produk minuman segar akan lebih menarik jika iklannya diperankan oleh perempuan cantik yang sedang meminum minuman tersebut. Karena perempuan menjadi bahan tontonan yang menarik, banyak iklan produk yang mengeksploitasi perempuan sebagai objeknya.

Perempuan dalam iklan umumnya direpresentasikan sebagai figur yang cantik, seksi, anggun, mengurus masalah domestik, objek seksual, bergantung, pasif, dan sub-ordinatif di hadapan laki-laki. Sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif, dominan, superior, dimitoskan sebagai pelindung, kuat, jantan, perkasa, berada di wilayah publik dan menjadi decision maker. Perbedaan gender tersebut berlangsung terus menerus dalam sejarah yang sangat panjang dan kompleks hingga sekarang. Perbedaan itu dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial dan tidak dapat diubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai suatu kodrat. Berbagai pembedaan ‘maskulinitas’ dan ‘feminitas’ akhirnya memunculkan stereotip tertentu yang disebut stereotip gender. Stereotip kadang bersifat positif dan kadang negatif. ‘Keindahan’ yang dimiliki perempuan membentuk stereotip dan membawa perempuan ke sifat-sifat sekitar ‘keindahan’ seperti digambarkan sebagai objek seksual, cantik, lemah lembut, tidak asertif (pasif). Eksploitasi ini menghadirkan konsepsi pemaknaan perempuan tidak lebih sebagai sebuah benda. Tubuh dan semua atribut perempuan dieksploitasi sebagai objek tanda dan bukannya sebagai subjek (Widyatama dalam Setiowati & Wahyuningtyas, 2013). Hingga kini, eksploitasi perempuan dalam dunia periklanan masih terus terjadi, seperti pada iklan parfum Axe yang akan dibahas dalam artikel ini.

Teori Semiotika
Teori semiotika Rholand Barthes merupakan alat untuk membedah fenomena media.  Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan kode, tanda untuk memproduksi, menyampaikan dan menginterpretasikan pesan, dan kode untuk mengatur penggunaannya. Semiotika merupakan alat untuk mencari makna dalam pesan. Semiotika dan semiology adalah hal yang berbeda, namun saling berkaitan. Ilmuwan semiotika berasal dari berbagai kalangan, mulai dari komunikasi hingga zoologi. Fokus perhatiannya adalah pada aspek komunikasi tanda, khususnya komunikasi tanda-tanda nonverbal dan perannya dalam komunikasi.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Seperti halnya Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidup yang sesungguhnya tidaklah demikian. Menurut Budiman dalam Sobur (2006: 71), ideologi ada selama kebudayaan ada. Kebudayaan mewujudkan dirinya dalam teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk dalam teks, dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.

Pendekatan semiotik menekankan pandangannya pada bentukan dan makna yang digunakan individu dalam konteks budaya untuk memproduksi maknanya. Ini berarti bahwa budaya memegang peranan penting dalam mengubah pengggunaan bahasa. Penggunaan dan penerimaan bahasa yang terkait dengan kesepakatan sosial inilah yang kemudian menentukan pemaknaan atas realita yang ada, yang direpresentasikan oleh tanda-tanda yang telah disepakati bersama. Semiotik menggunakan istilah tanda untuk menjelaskan bagaiman makna atau pemaknaan diproduksi secara sosial. Beberapa ciri-ciri yang dimiliki tanda, yaitu: (1) sebuah tanda memiliki bentuk fisik, yang disebut signifier (penanda) seperti model potongan rambut atau lampu lalu lintas; (2) sebuah tanda mengacu kepada sesuatu selain dirinya, yang disebut signified (petanda/yang ditandai), hal ini menekankan pada sebuah konsep yang dimaksud, bukan mengacu pada hal nyata yang ada di dunia; (3) semiotik menekankan bahwa persepsi akan realita adalah dibentuk dan dikonstruksi sendiri oleh kata dan tanda yang digunakan dalam beragam konteks sosial (Branston & Stafford, dalam Setiowati & Wahyuningtyas, 2013).

Dalam semiotika terdapat kode. Kode adalah tatanan peraturan yang mengatur perilaku, baik dinyatakan maupun tidak. Kode memberikan aturan yang menghasilkan tanda-tanda. Kode bisa berupa visual, verbal, kinetik, taktil, pendengaran, dan menggunakan indra lainnya. Dalam hal ini, kode yang terdapat pada iklan televisi yaitu berupa adegan-adegan audiovisual yang menampilkan teks cerita. Teori semiotika akan digunakan dalam membedah nilai konotatif yang terdapat dalam iklan parfum Axe.


Potret perempuan dalam iklan parfum Axe
Iklan parfum Axe tidak hanya memiliki satu versi, melainkan terdapat versi Amerika yang tidak boleh tayang di Indonesia. Iklan parfum Axe Indonesia akhirnya dibuat khusus tersendiri untuk mempromosikan Axe “Men’s Grooming”. Iklan parfum Axe Mens Grooming ini dibintangi oleh Jefri Nichol, salah satu artis muda papan atas yang terbilang memiliki paras yang tampan dan tubuh yang maskulin.

Adegan iklan pertama memunculkan Jefri Nichol yang sedang berpakaian di depan cermin. Ketika berpakaian, tak lupa ia memakai parfum Axe untuk melengkapi penampilannya. Adegan selanjutnya menunjukkan ia dating ke sebuah pesta yang terdapat seorang gadis cantik. Gadis tersebut melihat Jefri Nichol dan terpana dengan penampilannya. Gadis tersebut kemudian menghampiri Jefri Nichol dan menyalaminya dengan menempelkan pipi kanan dan kiri yang dimaksudkan untuk mencium wangi parfum yang dipakai oleh Jefri Nichol. Tak hanya sampai di situ, si gadis juga memeluk Jefri Nichol untuk mencium parfum Axe lagi. Adegan ditutup dengan Jefri Nichol yang mengerling ke arah kamera dengan teks “menang banyak”, yang artinya ia berhasil mendapatkan banyak keuntungan dengan memakai parfum Axe tersebut.

Adegan saat si gadis cantik mendekati Jefri Nichol yang memakai parfum Axe menggambarkan sifat seorang wanita yang mudah terpikat pada ketampanan laki-laki. Si gadis sengaja menyalami pemeran pria dengan menempelkan pipi kanan dan kirinya, semakin menambah kesan bahwa perempuan mudah dibuat terpikat dan tertarik, dan dengan mudahnya menyerahkan diri. Meski tujuan dari pembuatan adegan tersebut pastinya adalah untuk menarik minat consumer dan membuat mereka memaknai bahwa Parfum Axe memiliki aroma yang wangi, adegan tersebut mengandung nilai penggambaran perempuan sebagai objek seksual secara inplisit. Perempuan digambarkan sebagai pihak yang dapat menjadi bahan pertaruhan, apakah ketampanan dan daya tarik laki-laki dapat memikat wanita tertentu.

Iklan Axe menonjolkan perempuan sebagai daya tarik utama dari produknya, karena dengan memakai parfum Axe, kaum wanita akan bertekuk lutut pada pria yang memakainya. Hal ini merupakan salah satu penggambaran bahwa wanita akan takluk dan dapat didominasi, diatur, serta dimonopoli oleh kaum pria sebagai objek seksualitas. Dandanan si gadis yang cantik dan menawan membuat kesan “menang banyak” seperti yang sudah disampaikan di atas menjadi lebih bermakna, bahwa “menang banyak” yaitu mendapatkan perempuan yang cantik dan perempuan tersebut dengan mudahnya akan mendekati pria apabila pria tersebut memakai Parfum Axe.

Dari hasil kajian terhadap iklan Axe ini juga dapat dilihat, meskipun iklan ini menawarkan produk minyak wangi khusus pria, tetapi dalam penyampaiannya tetap saja menampilkan sosok kaum wanita. Bahkan penampilan kaum wanita terkesan dominan dan menjadi daya tarik dari iklan tersebut. Selain itu, dalam iklan Axe, kaum wanita sering ditampilkan sebagai sosok yang ideal atau cantik secara fisik, yang diidentikan dengan kulit putih, badan ramping, rambut lentik, pakaian seksi, dan sebagainya. Iklan parfum Axe, walaupun merupakan iklan parfum untuk kaum pria, tetapi tetap saja menekankan dan mengidealkan kulit putih sebagai standar kecantikan feminin. Hampir semua tayangan iklan Axe selain yang tayang di Indonesia selalu menampilkan kaum wanita berkulit putih. Jika kita simak dengan seksama, maka akan dapat dirasakan pesan yang kuat bahwa wanita berkulit putih bisa diterima dimana-mana.Wanita dengan kulit coklat dan kulit hitam jarang ditampilkan. Secara tidak langsung iklan Axe telah memotivasi kaum wanita untuk memiliki kulit yang lebih lembut dan bersih sebagai sesuatu yang ideal. Wanita harus bercita-cita dan berusaha untuk mencapainya, sehingga mereka bisa menjadi objek yang diinginkan dan disukai oleh kaum pria (Hermawan & Hamzah, 2017).

Kesimpulan
Melalui iklan parfum Axe, kita dapat melihat potret wanita dalam iklan televisi sebagai pihak yang dijadikan objek seksualitas dan juga pasar komersial. Iklan parfum Axe menonjolkan bahwa wanita akan dengan mudahnya bertekuk lutut dengan laki-laki yang gagah. Gambaran wanita yang cantik juga dilihat dalam iklan ini, yaitu perempuan yang memiliki wajah halus, badan langsing, dan berlenggak-lenggok.

Dalam banyak hal program-program media massa banyak dilatarbelakangi oleh aspek komersial seperti ini. Padahal seharusnya media massa berperan dalam membentuk sebuah kultur yang dapat melahirkan harmonisasi antara alam dengan kehidupan masyarakat, dan antar masyarakat dalam kehidupannya. Tampaknya media mengabaikan faktor keseimbangan (Hermawan & Hamzah, 2017). Gambaran wanita sebagai objek seksual menunjukkan keseimbangan ini belum terpenuhi, dan masih menonjolkan bahwa laki-laki menjadi pihak yang dominan dari wanita.

DAFTAR PUSTAKA
Asmaunizar, 2015. “Eksploitasi Perempuan Dalam Periklanan Menurut Pandangan Islam”. Jurnal Al-Ijtimaiyyah Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2015
Hermawan & Hamzah, 2017. “Objektifikasi Perempuan dalam Iklan Televisi : Analisis Lintas Budaya terhadap Iklan Parfum Axe yang Tayang di Televisi Indonesia dan Amerika Serikat”. Jurnal Kajian Media Vol. 1 No. 2 Desember 2017 Halaman 166 – 176
Setiowati & Wahyuningtyas, 2013. “Stereotip Gender dan Dominasi Kapitalis dalam Iklan Televisi Suatu Analisis Wacana Kritis terhadap Iklan Televisi Citra Korporasi Gudang Garam di Bulan Ramadhan”. Jurnal Humaniora Vol.4 No.1 April 2013
Wirasari, 2016. “Kajian Kecantikan Kaum Perempuan Dalam Iklan”. Jurnal Demandia, Vol. 01No. 02 (September2016) : 146-156


Komentar

Postingan Populer