Fenomena Cyberbullying di Media Sosial Akibat Hilangnya Isyarat Sosial dalam Komunikasi Online
Cyberbullying: Fenomena dalam Komunikasi Online
Bullying merupakan perilaku yang mengganggu orang lain
melalui tindakan, kata-kata, dan hal lain yang menyebabkan pengaruh negatif. Bullying
merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak
yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan
bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional (Coloroso,
2007). Menurut Olweus (2006), bullying merupakan suatu perilaku negatif
berulang yang dimaksudkan untuk menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan
oleh orang lain, baik satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang
yang tidak mampu melawannya. Perilaku bullying memiliki dampak negatif di
segala aspek kehidupan, baik fisik, psikologis maupun sosial individu,
khususnya remaja (Sejiwa, 2008). Oleh karena itu, bullying merupakan ancaman
yang besar bagi perkembangan mental individu.
Perilaku bullying dapat terlihat dalam berbagai
perlakuan tidak menyenangkan dari seseorang atau lebih kepada orang lain.
Contohnya menghina, mengejek, hingga menyakiti fisik. Menurut American
Psychiatric Association (APA), bullying setidaknya memiliki tiga karakteristik,
yaitu: (a) perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b)
perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan
kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, perilaku
bullying saat ini memiliki bentuk lain yang disebut cyberbullying atau
perilaku bullying melalui media online. Cyberbullying
adalah fenomena pembullyan ketika seseorang diejek, dihina, diintimidasi atau bahkan
dipermalukan oleh orang lainnya melalui media internet, teknologi digital atau
telepon seluler. Fenomena cyberbullying
menjadi makin marak setelah munculnya media sosial yang penggunaannya sangat
luas. Media-media sosial yang menjadi platform untuk mengekspresikan diri bagi
khalayak umum digunakan secara bebas sehingga menyebabkan perilaku bullying di
media online.
Pengguna media sosial di Indonesia saat ini mencapai
jumlah yang sangat besar. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan
pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka
tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Fenomena cyberbullying banyak ditemukan di media sosial twitter dan
Instagram sebagai platform untuk membagikan tulisan dan foto. Selain itu,
fenomena bullying juga dapat terjadi melalui media sosial Whatsapp yang
merupakan platform chatting online. Bentuk dari cyberbullying pada media sosial juga dapat berbeda-beda. Cyberbullying bisa terjadi melalui
komentar negatif, postingan yang menyerang, hingga pesan/ chat langsung yang
berisi kebencian terhadap seseorang.
Fenomena Bullying Sebagai Akibat Hilangnya Isyarat
Konteks Sosial di Media Online
Fenomena bullying di media online ini tidak dapat
dihindarkan, sebab setiap orang memiliki penilaian yang berbeda terhadap konten
yang ia share di media sosial. Sebagai contoh, seseorang merasa kata-kata yang
ia kirimkan kepada seseorang tidaklah menyinggung, namun ternyata pesan yang ia
kirimkan menyebabkan orang lain tersakiti. Hal ini merupakan fenomena yang
sering ditemui di media sosial karena hilangnya isyarat konteks sosial pada
komunikasi di media online.
Satu perbedaan besar antara komunikasi tatap muka
secara langsung dan komunikasi online adalah hilangnya komunikasi non verbal.
Padahal, sebagian besar komunikasi tatap muka terdiri dari komunikasi non
verbal berupa gestur, Bahasa tubuh, nada suara, dan lain sebagainya. Hal ini
menjadi hilang dalam komunikasi online melalui media sosial. Menurut Kiesler
dan Sproul (1992), isyarat konteks sosial yang tersedia dalam komunikasi online
terbatas dalam komunikasi yang dimediasi komputer. Pada kenyataannya, semua
teknologi komunikasi melemahkan setidaknya beberapa derajat isyarat konteks
sosial yang tersedia dalam komunikasi tatap muka.
Komunikasi non verbal biasanya justru mengambil porsi
lebih banyak dalam berkomunikasi secara tatap muka. Bahasa tubuh seseorang akan
menjelaskan apakah ia menikmati obrolan dengan orang lain, apakah ia menyukai
orang tersebut, dan sebaliknya. Dari gestur tubuh juga dapat terlihat respon
seseorang terhadap orang lain. Orang juga akan lebih mudah memaknai komunikasi
yang dilakukan oleh orang lain sehingga tidak terjadi misskomunikasi. Melalui
isyarat seperti ini, kekhawatiran terjadi bullying melalui ucapan verbal dapat
diminimalisir karena seseorang dapat melihat bagaimana maksud asli dari si
pengirim pesan.
Komunikasi non verbal tersebut menjadi hilang dalam
komunikasi di media sosial. Karena tidak adanya isyarat konteks sosial, aturan
sosial menjadi berkurang. Perilaku individu dalam media sosial menjadi lebih tanpa
aturan, dan orang menampilkan perilaku yang kurang diinginkan secara sosial.
Tampaknya kurangnya isyarat menyebabkan orang menjadi kurang peduli dengan
orang lain, dan perilaku semacam ini dapat memperburuk konflik. Dalam media
sosial, orang menjadi cenderung lebih apatis terhadap respon orang lain atas
apa yang ia katakan. Hal ini mengarah kepada cyberbullying yang akhirnya terjadi melalui media sosial.
Akibat kurangnya isyarat sosial dalam media online, fenomena
cyberbullying menjadi lebih rentan
terjadi. Hal ini dapat terjadi karena seseorang dinilai buruk di media sosial
sehingga mendapat hinaan dan ejekan oleh pengguna media sosial yang lain,
padahal penilaian tersebut bisa jadi salah karena tidak adanya komunikasi non
verbal yang dapat menjelaskan realitas dirinya. Sebagai contoh, seseorang
membuat Instagram story sedang makan di tempat mewah. Orang lain kemudian dapat
dengan mudah melontarkan komentar bahwa orang tersebut sering memamerkan
kekayaan dan suka kemewahan. Padahal sebetulnya, ia sedang pergi ke tempat yang
sudah lama ia impikan dan sudah menabung sejak lama hanya untuk makan di tempat
tersebut sehingga ia mengunggahnya ke media sosial. Dalam komunikasi tatap
muka, orang tersebut dapat langsung menjelaskan keadaan aslinya terhadap orang
yang berkomentar buruk terhadapnya. Ada isyarat non verbal antara keduanya
sehingga tidak akan langsung mengejek dan berkomentar seperti di dunia maya.
Cyberbullying juga dapat dimulai ketika seseorang salah menafsirkan
pesan orang lain terhadap dirinya di media sosial dan akhirnya membuat persepsi
bahwa dirinya mengalami cyberbullying.
Seperti ketika seseorang sedang bercanda di media sosial dan mengatakan
kekurangan fisik seseorang tanpa beban karena dirasa orang yang ia ejek sudah
memiliki hubungan dekat dengan orang tersebut sehingga tidak akan merasa
terhina. Namun pada kenyataannya, orang yang diejek merasa kesal dan merasa
mengalami cyberbullying oleh teman
dekatnya, namun ia tidak dapat mengungkapkan langsung. Dalam komunikasi tatap
muka, gestru orang tersebut sudah dapat memperlihatkan respon sesungguhnya
terhadap gurauan temannya sehingga teman tersebut sadar bahwa orang yang ia
ejek merasa terhina. Hal ini menunjukkan hilangnya isyarat sosial dalam
komunikasi di media online menjadi salah satu pemicu terjadinya cyberbullying dalam platform media
sosial.
Meminimalisir Cyberbullying
Cyberbullying dapat diminimalisir dengan pemahaman yang lebih
mendalam terkait etika berkomunikasi, khususnya dalam bermedia sosial. Isyarat
konteks sosial yang hilang dalam berkomunikasi di media sosial dapat diganti
dengan pemahaman yang lebih baik terkait hak dan kewajiban untuk menghargai
orang lain. Adanya UU ITE sebagai ancaman hukuman bagi penyebar pesan kebencian
tidak akan berjalan efektif jika tidak ada kesadaran dalam diri individu untuk
saling menghargai satu sama lain. Oleh karena itu, agar cyberbullying tidak terjadi dalam komunikasi di media sosial, antar
sesama pengguna media sosial perlu menerapkan sikap saling menghargai dan
mendukung, bukan sikap saling curiga dan menjatuhkan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Earle, 2015. Social
Context Theory: A systems model of social change based on social needs and
social issues. South Pacific Journal of Psychology. Massey University
Septiyuni, 2014. “Pengaruh
Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah”.
Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia
Utami, Yana, 2014.
Cyberbullying di Kalangan Remaja (Studi
tentang Korban Cyberbullying di
Kalangan Remaja di Surabaya). Skripsi. Universitas Airlangga
Komentar
Posting Komentar