Cerpen: Almaya dan Kisahnya - Part 2
--
Anehnya, meski aku tau bukan hanya aku yang dibelikan minuman dingin itu, aku tetap menganggap botol sisa minuman yang diberikan Kak Akmal seperti harta berharga. Kucuci dan kujemur, lalu aku jadikan tempat menyimpan pensil yang kupajang di meja belajar.
Kupandangi wadah pensil penuh kenangan itu setiap malam, lama sekali sampai aku jatuh tertidur memikirkannya. Setiap hari tanpa terkecuali, selepas tertawa-tawa membalas pesannya yang kadang mampir ke inbox-ku. Tidak pernah kupedulikan perkataan Farida, Kak Akmal hanya menganggapku adik kelasnya yang kebetulan nyambung dengannya sehingga sering mengajakku mengobrol.
Hingga satu tahun berlalu, ia bukan lagi Kak Akmal ketua OSIS. Ia hanya Kak Akmal, kakak kelasku yang selalu memanggilku, “Almaya”. Ia membelikanku kado banyak sekali buku novel saat aku ulang tahun, yang kuperlakukan seperti harta karun. Harta karun- harta karun darinya kusimpan rapi, menjadi alasan setiap kali Farida mengingatkanku untuk tak terlalu berharap padanya. Bagaimana mungkin aku bisa menjauh darinya, saat kami menjadi semakin dekat?
Ia yang suka mengajariku pelajaran sekolah, bahkan membantuku saat aku kesusahan mengerjakan tugas. Juga menolongku untuk mengerjakan program kerja OSIS. Aku masih melanjutkan kiprahku di organisasi itu meski tanpanya. Aku, Irena, dan Farida sama-sama menjadi Pengurus Harian. Kami bertiga menjadi seperti segitiga sama sisi di OSIS, tak terpisahkan. Tahun-tahun itu rasanya melelahkan, namun menyenangkan. Dan aku selalu mengusahakan apapun untuk membantu teman-temanku baik dalam OSIS maupun hal lain, terlebih Irena.
“Alma, boleh aku cerita?” Ucap Irena di suatu hari yang dingin di Bulan Oktober. Kala itu gerimis sedang turun, membasahi lapangan sekolah dan juga taman bunga yang dipenuhi anak-anak. Aku dan dia duduk di bangku taman yang dipayungi kanopi.
Kupandangi wajah cantiknya yang pucat pagi ini. Irena yang cantik, entah bagaimana nampak lemah dan rapuh.
“Mau cerita apa? Aku selalu dengarkan.”
Mata beningnya berair. Aku memeluknya yang tiba-tiba menangis terisak.
“Kamu kenapa?”
Irena terdiam beberapa saat hingga akhirnya mau bicara. “Papa dan mamaku bercerai..”
Aku memeluknya makin erat, mendengarkan tangisnya yang bercampur gerimis yang turun. Hatiku ikut sakit mendengarnya. Irena yang cantik, Irena yang dikagumi semua orang, ternyata menyimpan luka hati yang dalam.
“Tolong, Alma. Aku iri sama kamu yang punya segalanya. Keceriaan, rasa percaya diri, dan kasih sayang yang cukup..”
Aku belum mengerti apa yang mau ia katakan.
“Kalau aku minta apapun sama kamu, kamu akan penuhi, kan?”
Bola mata sejernih kristal itu menatapku dalam. Aku memandangnya, mencoba meraba isi hatinya. Tentu saja, akan kulakukan apapun untuk sahabatku.
“Iya. Pasti.”
Dan ujung benang-benang takdir kami mulai berkelindan kusut, entah kemana akan berakhir.
***
Satu bulan sebelum perpisahan senior kami, aku dan Kak Akmal berjanji satu sama lain. Ia akan masuk ke universitas terbaik di luar kota kami, dan aku akan menyusulnya tahun depan. Ia menyadarkanku, kalau aku harus mengejar cita-cita sesuai keinginan hatiku. Aku ingin sekali menyusulnya dan berkuliah di jurusan seni.
Aku ikut menangis haru kala Kak Akmal diterima di universitas impiannya, bahkan mengantarnya hingga ke stasiun kereta. Aku masih ingat, senyumnya memandangku di tengah keramaian stasiun kereta.
“Sampai bertemu lagi,” ucapnya. Dan aku mengangguk sambil menyeka air mata. Ujung jilbabku berkibar terkena angin saat kereta itu menjauh, membawa sekeping hatiku yang pergi.
Namun aku berjanji, setahun kemudian aku akan menyusulnya ke tempatnya. kubakar perasaanku menjadi semangat menggebu-gebu untuk belajar. Waktu itu aku masih berkomunikasi dengannya meski jauh, walau tak pernah bertemu secara langsung.
Aku, Irena, dan Farida sama-sama bercita-cita masuk ke universitas yang sama dengan Kak Akmal. Kami bertiga selalu belajar bersama. Hari-hari kami diisi dengan belajar, pergi ke bimbel, atau ke perpustakaan. Satu tahun berlalu dan kami akhirnya lulus bersama ke kampus ini. Meski sayangnya, aku tak masuk ke jurusan seni seperti impianku, melainkan ke jurusan kimia seperti Farida. Alasannya karena orang tuaku yang melarang. Tapi aku tak masalah. Bisa diterima di universitas yang sama dengan Kak Akmal membuatku gembira bukan kepalang.
Kami bertiga sangat senang bisa kembali bersama di universitas yang sama. Hari pertama kami pergi ke kota, kami dijemput Kak Akmal di stasiun kereta, dengan senyum cerah di wajahnya. Hatiku menggebu-gebu, wajahku merona hari itu. Ia khusus meluangkan waktu untuk menjemput kami di sela kesibukan organisasinya yang padat. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan senyumnya hari itu. Aku masih ingat, koperku berat terisi harta karunku yang semuanya berisi barang pemberiannya. Tidak akan kutinggalkan harta karunku, jadi kubawa ia ke kota perantauanku.
“Almaya, kamu harus jadi mahasiswa aktif, ya. Kamu suka bersosialisasi, kan?” Tanyanya saat aku sedang menjalani ospek. Aku tersenyum dan mengangguk.
Hari itu, kami duduk berdua di salah satu bangku taman kampus. Aku menatap lalu lalang mahasiswa baru sepertiku yang memakai pakaian hitam putih, menghindari menatap matanya. Walau bagaimanapun, aku tak pernah berani memandang matanya langsung.
Sayangnya, hari itu aku masih tak sadar, ada mata lain yang mengawasi kami dari kejauhan.
Farida selalu bilang, Kak Akmal membuatku menggantung dengan perasaan ini. Aku tak masalah meski ia bilang begitu. Aku tidak mau berhubungan seperti pacaran, dan saat ini juga kami belum siap jika harus berhubungan serius. Jadi, biarlah semua berjalan seperti ini saja.
Sayangnya, tidak semua berjalan sesuai harapanku.
Hari itu, bulan Desember dua tahun lalu. Hujan turun deras sedari pagi, membuat hawa dingin terasa di seluruh penjuru kota. Aku masih bergelung dengan selimut saat tiba-tiba Irena menelponku.
“Kamu ke sini ya, sekarang.” Nada bicaranya datar.
Aku menguap sebentar. “Kenapa, Na? Ada masalah?”
“Ada.”
Perkataan Irena membuatku mengernyit khawatir. Aku langsung bangun, menyambar kunci motorku. Aku takut terjadi apa-apa pada gadis itu. Kuhubungi Farida untuk berjaga-jaga. Setelah itu, aku nekat menerjang hujan, menuju taman kampus di seberang danau fakultasku tempat ia berada.
Sampai di sana, kulihat Irena sedang duduk bermandikan hujan di pinggiran danau. Aku terkejut.
“Na! Ngapain di situ? Dingin!” Teriakku seraya berlari ke arahnya, lalu memayunginya yang kini sudah basah kuyup. Hatiku was-was, takutnya ada sesuatu yang berhubungan dengan orang tuanya sehingga membuat Irena depresi lagi.
Irena tersenyum padaku. Aku balas tersenyum.
“Kamu kenapa?”
Bukannya menjawab, pandangan Irena malah melayang jauh. Keheningan melanda kami, hanya suara air hujan yang menemani.
Lama ia terdiam, hingga akhirnya ia bicara.
“Kamu pernah bilang, kamu akan lakuin apapun untuk aku, kan?”
Aku mengangguk. “Iya. Kamu kan, sahabatku.”
Irena tersenyum lagi. “Kalau aku minta untuk jauhin Kak Akmal, bisa?”
Kali ini aku terdiam. Suara petir di langit seolah menggambarkan isi hatiku mendengar perkataannya. Kenapa Irena bertanya seperti itu?
Ia memandangku, lantas berkata lamat-lamat.
“Kalau kamu sahabatku, harusnya sadar kalau aku dan dia saling mencintai. Harusnya sadar kalau dia itu punya aku!!”
Aku terkesiap melihatnya mendorong payung dari tanganku. Kini kami berdua sama-sama basah terguyur air hujan. Hatiku sakit, sakit sekali melihatnya berkata seperti itu.
“Na..” Aku memanggilnya pelan.
Ia memandangku tajam. “Jauhi dia, kalau kamu masih sahabatku.”
Aku menggeleng kuat-kuat. Bukan begini cara mainnya!
“Kamu nggak bisa putusin gitu aja, Na! Aku sahabat kamu, tapi nggak gitu cara memperjuangkan seseorang!”
“DIAM!” Irena membentakku, untuk pertama kalinya. “Aku bilang cinta ke dia, dan dia bilang dia sayang sama aku. Jadi, kamu nggak ada apa-apanya dibanding aku,”
Air mataku luruh bercampur dengan air hujan. Kerudung dan bajuku basah kuyup, tak kupedulikan. Perkataan Irena seolah menamparku. Tapi meski hatiku teriris, aku lebih sedih melihat Irena yang menggigil.
“Irena, jangan gini. Nanti kamu sakit..”
Ia masih menatapku tajam.
“Dengerin aku. Kak Akmal nitipin sesuatu buat kamu, untuk terakhir kalinya.”
Setelah itu, ia mendekat. Menyerahkan sebuah kotak kecil yang hendak kuraih, jika saja ia tak melemparnya jauh-jauh.
“Irena!”
Byur! Kotak itu jatuh berdebur meninggalkan riak pada danau yang tersiram air hujan. Aku menatapnya tak percaya.
“Itu dari dia, loh. Ambil.”
Dan aku, dengan berurai air mata, menatap Irena untuk terakhir kali. Kemudian melangkahkan kaki pada dinginnya air danau yang nampak beriak. Pandangan mataku menatap kotak itu, yang kini terapung tak jauh di hadapanku.
Biarlah, biarlah badanku basah kuyup. Hatiku hancur melihat sahabatku menangis karenaku. Aku tak peduli pada hujan, dan menuju tengah danau dengan yakin hingga kotak kecil itu berhasil kuraih. Aku tersenyum getir, menatap kotak itu di pelukanku, sebelum pada akhirnya kepalaku terasa berat dan pandanganku kabur. Lalu lamat-lamat sebelum aku terjatuh, kudengar teriakan Farida memanggilku.
“ALMA!!!”
***
Sejak saat itu, segitiga sama sisi yang selalu bertiga kemanapun tidak pernah bersama lagi. Aku dan Farida tak pernah bertemu lagi dengan Irena secara sengaja, dan juga tak pernah lagi bertemu Kak Akmal. Laki-laki yang kukagumi karena tragedi buah pare itu seolah lenyap ditelan bumi, dan hanya jejaknya yang selalu kulihat di manapun. Yang kini, dengan segala macam upaya, berusaha kuhilangkan dari ingatanku.
Harta karun terakhirku adalah kotak yang diberikan Irena hingga aku jatuh pingsan di danau. Aku sangat berterimakasih pada Farida. Jika ia tak datang, entah siapa yang akan menolongku. Sayangnya, harta karun itu ternyata bukan berisi harta karun, melainkan kotak pandora.
Membuatku sakit hati setiap mengingatnya.
Kotak itu, yang ternyata berisi flash disk, hanya berisi satu file tulisan. Dan aku tau saat membacanya, hari itu adalah hari patah hatiku.
Tulisan itu berjudul, Untuk Irena, Si Gadis Pare.
Aku tak pernah membacanya hingga akhir, karena isinya hanyalah surat cinta dari Kak Akmal untuk sahabatku.
Kusimpan rapat-rapat semua benda pemberiannya, kucoba lupakan semua tentang dia dan Irena. Aku jatuh sakit selama satu minggu akibat pingsan di danau, dan dua orang itu bahkan tak menanyakan kabarku. Akhirnya aku yakin, cerita ini sudah usai. Ditutup dengan menyakitkan, seperti kalimat yang Farida selalu bilang,
“Jangan terlalu berharap. Nanti akan sakit akhirnya.”
Ya, benar. Lebih dari itu semua, harapanku hancur dan luluh lantak. Semua kenanganku tentang dia memudar. Aku jatuh. Patah hati terburuk selama hidupku.
Ternyata sesakit ini, melihat orang yang kita sayangi pergi meninggalkan luka. Bodohnya, aku tak pernah sadar sedari dulu. Sayangnya, sedari dulu aku belum paham, Irena dan aku punya perasaan pada orang yang sama.
Aku terlalu bodoh karena tidak pernah menyadari arah pandangannya saat ada Kak Akmal di dekat kami. Tidak pernah menyadari kalau ia senang sekali membicarakan Kak Akmal, apalagi jika bertemu dengannya. Tidak pernah sadar bahwa sahabatku mengagumi orang yang kukagumi.
Maka dari itu, biarlah cerita ini usai. Kututup kisahku dengan pergi sejauh mungkin darinya. Tidak pernah muncul di hadapannya, berusaha menjauh dan melupakannya.
Sayangnya, hari ini di perpustakaan, hanya karena sebuah pertemuan, semua kisah ini mengalir kembali.
***
Farida menarikku, berusaha membujukku pergi. Namun pandangan laki-laki itu mengunciku. Ia menatapku, seolah ingin menyampaikan sesuatu. Irena di depanku masih tersenyum ceria. Melihatnya bahagia, aku turut senang.
“Kita pergi dulu, ya.” Pada akhirnya Farida menarik tanganku dan membuatku tersentak. Aku tersenyum pada Kak Akmal dan Irena untuk terakhir kali, lalu melangkah pergi.
Tapi sebelum itu, Kak Akmal menahanku.
“Almaya, aku pengin ngomong sama kamu,”
“NGGAK!”
Farida yang menjawabnya, membuat beberapa pasang mata menoleh karena merasa terganggu. Oiya, aku lupa, ini di perpustakaan.
“Mau ngomong apa lagi? Ga akan aku biarin Kak Akmal nyakitin Alma lagi,”
Kak Akmal menatapku memohon. “Tolong, Almaya..”
Irena di sampingnya ikut menatapku, seolah mengancam. Sahabatku itu, dulu orang yang selalu kulindungi. Kulakukan apapun demi Irena tersenyum, hingga mengorbankan diriku sendiri. Namun sekarang, aku tau itu salah. Menyayangi seseorang bukan dengan selalu memanjakannya. Maka demi melihatnya menatapku tajam, aku akhirnya balas memandangnya dan menantang.
“Ayo, Kak. Almaya juga pengin ngomong.”
Tak kupedulikan wajah cantik Irena yang memerah, juga teriakan Farida yang sebal. Kak Akmal mengajakku duduk di kursi taman, tempat favorit kami dulu.
Wajahnya masih sama teduhnya, sama seperti saat dulu ia suka memberikanku nasihat di bangku taman ini. Aku sulit untuk tidak luluh. Ia masih ingat kebiasaanku, tidak suka duduk berduaan di tempat sepi. Maka, ia memilih tempat yang ramai untuk kami bicara.
Rasa sakitnya masih terasa, seperti saat Irena membentakku di pinggir danau itu. Namun aku tau, aku harus berani menghadapinya.
Setelah terdiam cukup lama, ia berucap.
“Kamu kemana aja?”
Aku melengos dan tertawa pelan.
“Kak Akmal yang kemana aja?”
Ia menunduk. “Aku ga pernah pergi kemanapun. Aku selalu cari kamu, tapi Farida melarang aku ketemu kamu. Sebenarnya ada apa?”
Aku terperangah. Ia mencariku selama ini?
Dengan suara bergetar, kucoba menjawab pelan. “Aku.. cuma ga mau ganggu hubungan Kak Akmal sama Irena.” Sambil menunduk, aku memainkan jari tangan.
Kak Akmal mengernyit. “Hubungan? Aku justru heran, kenapa kalian bertiga ga pernah keliatan bareng lagi? Kalian ada masalah apa?”
Aku menatapnya heran. Jadi, Irena belum cerita?
“Bukannya Kak Akmal.. pacaran sama Irena?”
Ia menatapku, lantas tertawa. “Kok bisa, kamu mikir gitu? Kita kan, sama-sama gak mau pacaran. Ingat?” Tanyanya sambil tersenyum.
Aku mengerjabkan mata, kebingungan.
“Ada sesuatu yang pengin aku sampaikan sejak dulu. Maaf karena mendadak kasih kamu ini. Dulu aku nyimpen di flashdisk, dan flashdisk itu hilang. Untungnya, aku masih nyimpen salinan file-nya.” Ia berucap sambil tersenyum.
Flashdisk?
Tidak mungkin. Jangan-jangan..
“KAK AKMAL!” Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi kami. Aku dan dia menoleh, mendapati Irena menghampiri kami. Di belakangnya, Farida berusaha mengejar.
Aku menatap Irena yang bersimbah air mata. Terakhir kali kulihat dia menangis adalah saat di danau dulu. Melihat gadis itu menangis tetap saja membuatku ikut sedih, meski ia sudah bersikap buruk kepadaku selama ini. Ia mendekat, lantas berteriak emosional. Kami kaget melihatnya mengamuk.
“Plis, jangan! Jangan sama Alma! Kak Akmal cuma boleh sama Iren!” Ia menangis, meraung. Membuatku dan Farida kalang kabut. Aku kepayahan menenangkannya, apalagi Kak Akmal. Irena terus berusaha memeluk laki-laki itu, yang tentunya ia tolak karena ia tak suka bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahramnya.
Irena masih menangis, hingga akhirnya kami memutuskan membawanya pulang. Ia menangis di pelukanku, seolah lupa tentang semua masa lalu kami. Aku mengelus kepalanya, merasakan sakit melihat ia menangis seperti ini. Farida menatapku tanpa ekspresi.
Irena yang cantik, Irena yang rapuh. Sahabatku, yang akan selalu aku sayangi. Kucium puncak kepalanya, air mata luruh di pipiku.
“Kenapa kita menjadi seperti ini?” Bisikku.
Ia menangis di pelukanku.
“Maaf..” ucapnya pelan di tengah isak yang teredam.
Hari itu aku tau, aku akan selalu menyayanginya hingga kapanpun, akan selalu melindunginya, sama seperti hari saat pertama kali aku menggantikannya memakan buah pare yang pahit di kala muda.
***
Aku terisak membaca isi tulisan yang Kak Akmal berikan siang tadi. Air mataku luruh, begitu pula dengan semua keraguanku. Bagaimana mungkin selama ini aku keliru padanya?
Bukan ia yang menjauh, tapi aku yang sengaja membuatnya pergi. Betapa bodohnya aku.
Irena tadi berkata terbata, menceritakan semuanya. Dan air mataku tumpah mendengar kebenaran yang ia katakan. Hari itu, Irena berbohong. Ia mencuri tulisan Kak Akmal, dan frustasi karenanya. Ia marah, pada dirinya dan juga aku. Ia marah, karena semua yang ia harapkan seolah tak ia dapatkan.
Aku menangis, menangis terisak kala ia terbata meminta maaf. Farida ikut meneteskan air mata. Hatiku sakit melihat sahabatku terluka. Dan aku menyesal karena telah membuang banyak waktuku dengannya.
Sebelum pulang, ia berkata. “Aku minta maaf.. untuk semuanya. Ucapkan maafku juga untuk Kak Akmal. Aku menyerah.”
Aku terisak, memeluknya.
“Selamanya, kamu selalu jadi sahabatku, Na. Tetaplah seperti itu.”
Kami bertiga berpelukan, menangis bersama. Akhirnya, sore itu, segitiga sama sisi telah kembali lagi. Meski tak utuh, kami akan selalu memperbaiki. Karena begitulah persahabatan, akan selalu abadi meski tak sempurna.
Dan, mengenai perasaanku, masih selalu sama. Kak Akmal telah memenuhi hatiku, dan akan selalu begitu. Kupandangi tulisan darinya sekali lagi, dan air mataku kembali luruh seiring dengan senyum yang terbit di wajahku.
Mungkin, kisah ini belum berakhir. Bahkan, baru saja dimulai untuk membuka lembaran yang baru.
Untuk Almaya, si Gadis Pare.
Halo, Almaya. Apa kamu ingat saat kita pertama kali bertemu? Saat itu matahari sedang terik, kamu terlihat kepanasan dan mengibaskan jilbabmu.
Kita bermain tebak gaya. Kamu dengan konyolnya menebak Harry Potter, padahal jawabannya angsa. Kamu juga semangat sekali memperagakan gaya lain yang aneh-aneh.
Kamu tau, hari itu kamu sudah menarik perhatianku.
Saat kamu menggantikan temanmu dari hukuman, aku tau kamu gadis yang spesial. Dan aku benar, kamu memang selalu spesial.
Kamu yang selalu menolong orang lain tanpa pamrih, selalu berusaha sekeras mungkin membantu apa yang kamu bisa. Dan kamu selalu menolong sahabatmu meski kamu pun kesusahan.
Terimakasih sudah mewarnai hari-hariku. Membuatku terus bermimpi dan tidak menyerah. Membuatku tertawa, dan tersenyum. Juga merasa sedih saat harus merindukanmu.
Maaf jika aku lancang memiliki perasaan ini. Kita sama-sama tau, kita tak akan pernah suka terikat dalam hubunga yang tak diridhai-Nya.
Maka, biarkan aku menunggumu, Almaya. Menunggu waktu mempertemukan kita di hari lain, saat kita sudah dewasa.
Maka, tunggulah aku juga, Almaya. Tolong tunggu aku untuk membuktikan perasaanku. Bukan hanya lewat kata, namun dari tindakan nyata.
Aku menyayangimu, Gadis Pare yang istimewa.
Tamat.
Komentar
Posting Komentar