Cerpen: Almaya dan Kisahnya - Part 1
Disclaimer: cerpen ini akan panjang, jadi kubagi dua.
Cerpen ini menjadi Juara II dalam Edodon Writing Competition 2020 dan dapat dibaca juga di aplikasi Edodon, platform menulis dan membaca online.
happy reading!
***
Aku
menatap sayu pada deretan buku di perpustakaan kampus. Menguap lebar, lantas
menumpukan tangan pada meja dan menghembuskan nafas pelan. Hari yang panjang,
salah satu hari-hari lain di antara hari milikku yang membosankan. Laptop di
depanku masih terbuka dengan layar yang menyala, namun aku tak tertarik untuk
menyentuhnya kembali. Sudah dua jam aku berkutat dengan tugas kuliah, dan
rasanya penat sekali.
“Alma,
jangan ngelamun muluu! Ayo tugasnya diselesein,” ucap Farida, sahabatku sejak SMP
yang kini satu jurusan denganku, mengingatkanku. Ia menepuk-nepuk bahuku,
lantas mencubit pipiku untuk membuatku tak mengantuk.
“Ih,
Faridaa, sakit!” Gumamku. Ia melengos.
“Deadline
satu hari lagi!” Ia mengancam, dan berhasil. Seolah tersengat magnet, aku
kembali menegakkan dudukku. Mendegar kata “deadline” selalu membuatku
ketar-ketir.
Aku
nyengir menatap wajah Farida yang sudah seperti emak-emak memarahi anaknya.
Lantas kucoba mengumpulkan kembali motivasi untuk mengerjakan tugas membuat
artikel ilmiah ini. Sudah beberapa hari ini kami berdua selalu mengunjungi
perpustakaan, untuk mencari literatur sekaligus numpang wifi perpus yang
cepatnya mengalahkan update Lambe Turah. Maklum, mahasiswa anak kos seperti
kami selalu mencari kesempatan fasilitas gratisan di kala akhir bulan.
Ah,
ya. Namaku Almaya, biasa dipanggil Alma. Jangan memanggilku Almaya, karena itu
hanya panggilan khusus bagi seseorang, yang ingin sekali kulupakan. Tapi
sudahlah, aku tidak ingin membahas dia saat kita pertama berkenalan seperti ini,
hehehe.
Aku
kini sedang menjalani kuliah di tahun ketigaku sebagai mahasiswa. Aku dan
Farida berkuliah di jurusan yang sama, yaitu Teknik Kimia. Kami berdua hobi
membaca, menonton film, melukis, dan yang pasti mencari barang gratisan. Jangan
ditanya, itu adalah passion kami.
Omong-omong
tentang passion, sepertinya aku berkuliah di jurusan yang sama sekali bukan
passionku. Aku suka melukis, bahkan dulu saat SMA aku mengikuti eskul melukis
bersama Farida dan bercita-cita ingin masuk jurusan seni. Tapi cita-citaku
kandas, kehidupan SMA-ku pada akhirnya tidak seindah FTV. Tapi tak apalah,
semua sudah terjadi. Kini aku sudah menikmati kehidupanku yang biasa-biasa saja
ini.
Bruk!
Suara
buku terjatuh membuyarkan perhatianku dari lamunan dan juga tugas. Aku dan
Farida sama-sama menoleh, untuk kemudian membelalakkan mata.
Di
sana, beberapa meja di dekat kami, berdiri seseorang yang tadi kubilang,
seseorang yang selalu memanggilku Almaya.
Dia,
cinta pertamaku.
***
Gedung
sekolah, 5 tahun lalu.
“Alma!
Plis, aku deg-degan banget!” Farida menarik-narik lenganku, membuatku
terhuyung. Papan nama dari kertas karton bertulis “ALMA – NO.71” yang terpasang
di leherku berayun. Aku mengeluh.
“Aku
juga deg-degan, tapi santai aja. Kita harus pede kalau kita bakal ketrima,” ucapku
yakin. Aku nyengir lebar melihat wajah kusut Farida. Kami sedang mengikuti
seleksi pengurus OSIS di sekolah kami. Menjadi pengurus OSIS adalah impianku
dan Farida sejak pertama kali masuk SMA, karena kehidupan SMP kami benar-benar
terasa hambar tanpa pengalaman. Istilahnya, kami sangat noob dalam dunia
organisasi. Oleh karena itu, kami bertekad akan mengubah diri menjadi lebih
aktif di SMA.
“Nomor
56, silakan maju.” Ucapan seorang kakak OSIS membuat kami berdua berjengit,
sebab itu adalah nomor urut Farida. Hari ini kami akan mengikuti seleksi tahap
dua, yaitu seleksi lapangan. Kami akan melakukan beberapa permainan olahraga
tim.
Farida
mendapat kelompok untuk permainan berkelompok. Aku menyemangatinya. Ia
tersenyum masam karena grogi. Tak lama kemudian, nomorku dipanggil untuk
bergabung bersama kelompok lain di seberang lapangan. Maklum saja, pendaftar
OSIS mencapai angka seratusan. Ya, sepopuler itu organisasi ini di sekolah
kami.
Aku
melangkah menuju kelompokku. Ada belasan anak yang ada di sana, dengan dua
orang kakak OSIS, satu laki-laki dan satu perempuan. Aku berdiri si sebelah
seorang gadis berambut sepunggung yang tampak sangat cantik. Kupandangi nametag-nya,
yang bertuliskan nama Irena. Wah, namanya secantik orangnya. Irena balas
tersenyum kepadaku, yang langsung kikuk karena ketahuan mengamatinya.
“Aku
Irena, kelas 10-3. Kamu kelas mana?”
“Aku
Alma kelas 10-6,” ucapku sambil tersenyum. Yes, akhirnya aku punya teman
di kelompokku.
“Perhatian.
Saya Akmal, yang akan mendampingi kalian hari ini bersama rekan saya, Gisa.
Kali ini kita akan bermain permainan tebak gaya. Oh iya, kalian akan menjadi
rekan satu tim, tapi juga menjadi saingan satu sama lain. Kelompok kalian juga
menjadi saingan kalian untuk diterima di OSIS.” Salah seorang kakak OSIS yang kalau
tidak salah juga adalah Ketua OSIS. Aku terkejut mendengar penjelasannya. Jadi,
Irena bukannya akan menjadi temanku, melainkan sainganku di seleksi ini? Waduh.
Permainan
dimulai. Aku tidak sempat mencemaskan apapun, termasuk memikirkan akan
bagaimana kami dinilai di seleksi ini. Irena maju ke hadapanku, ia malu-malu
memperagakan gaya sesuatu. Aku dan teman-teman lain berlomba menebaknya.
“Gaya
Ikan!”
“Burung!”
Irena menggeleng kuat. Bukan itu, raut wajahnya frustasi.
“Gaya
rusa, rusa!” Orang-orang masih sibuk menebak.
“Harry
Potter!!!” Seruku keras, yakin sekali.
“Hah?”
Orang-orang melihatku aneh. Aku nyengir. Habisnya, Irena memperagakan gaya
mengibas-ngibaskan tangan seperti Harry Potter yang melambaikan tongkat
sihirnya. Orang-orang tertawa, aku langsung merasa malu. Bahkan kulihat ketua
OSIS di depan pun menertawaiku. Duh, habislah aku. Aku pura-pura membenarkan
kerudung untuk menutupi kegugupanku.
Ternyata,
jawabannya angsa. Aku melengos. Gampang ternyata, tapi Irena memperagakannya
aneh sekali. Aku tertawa geli. Ketika giliranku tiba, aku giliran ditertawai.
Aku memperagakan gaya Pinguin. Karena aku terlalu menghayati, semua orang
tertawa. Dan dalam waktu lima detik saja, langsung ada yang bisa menjawabnya.
Permainan
kami terus berlanjut. Ternyata selama itu, skor kami dinilai. Dan akan ada
hukuman bagi peraih skor terendah. Aku beruntung, skorku cukup tinggi karena
kesotoy-anku. Lain halnya dengan Irena, ia mendapat skor paling sedikit. Aku
meringis melihatnya berwajah pucat. Irena lebih gugup lagi saat si Ketua OSIS
itu bilang, hukumannya harus makan makanan yang dipilih oleh mereka.
Dan,
Irena harus makan buah pare rebus.
Serta
merta wajahnya memerah, terlihat ingin menangis. Orang-orang tidak
menyadarinya, justru banyak yang menertawai kesialan Irena. Aku menatapnya
khawatir.
“Gak
papa, pait doang rasanya,” Kak Gisa berucap geli saat menyorongkan piring
berisi buah pare rebus berwarna hijau yang terlihat setengah matang.
Irena
menatapku, hampir meneteskan air mata. Ia menggeleng kepadaku, berusaha
mengatakan sesuatu. Aku memegang lengannya, hendak mengucapkan kalimat
penghiburan, sebelum Irena berucap lirih.
“Aku
gak bisa makan pare, Alma,”
Dan,
entah bagaimana rasa empatiku padanya meluap. Demi melihat wajah cantik itu
hendak menangis, aku menahan piring di tangan Kak Gisa.
“Kak,
aku aja yang makan. Aku gantiin hukuman dia, ya?”
Kak
Gisa menoleh terkejut. Teman-teman sekeliling kami juga bersorak sorai. Irena
menatapku, wajah cantiknya terlihat makin pucat. Aku menelan ludah. Sejujurnya,
aku juga tidak suka memakan buah pahit itu. Tapi karena kasihan pada gadis di
depanku ini, aku memberanikan diri.
“Gapapa
ya, Kak? Biar Alma gantiin Irena makan buah parenya,”
Kak
Gisa kebingungan. Di sampingnya, ketua OSIS itu menatapku. Aku balik
menatapnya.
“Bukan
begitu aturan mainnya. Peserta tidak boleh menggantikan hukuman peserta lain,”
ia berucap datar.
Glek.
Aku menelan ludah. Gawat, bisa jadi aku gagal diterima di OSIS setelah ini.
“Tapi,
panitia boleh. Biar aku aja yang gantiin hukumannya.”
Aku
menoleh kaget. Apa?
Dan
siang hari itu, di bawah langit biru dengan mentari yang bersinar terik, aku
melihat dia dengan lebih jelas. Laki-laki itu menelan buah pare pahit seperti
menelan permen mint. Lantas tersenyum padaku dan Irena, lalu berucap,
“Lain
kali, kalian harus traktir saya karena gantiin hukuman kalian.”
Aku
tersenyum. Begitu juga dengan gadis di sampingku. Waktu itu aku belum tahu.
Berawal dari buah pare, kisah kami bertiga bermula dan berkelindan seperti
benang.
***
“Al?
Kamu baik-baik aja?”
Farida
menepuk bahuku. Buku di tangannya ia letakkan kembali di meja. Lamunanku
terputus, mengembalikanku dari memori lima tahun lalu. Aku mengalihkan
pandangan menatapnya.
Tersenyum,
berharap dapat membohongi sahabatku ini. “Aku baik-baik aja, Far.”
Tapi
aku tau, Farida tidak bisa dibohongi. Ia paham betul, aku tak baik-baik saja
melihat sosok itu di hadapanku. Sosok yang selama ini selalu aku hindari, dan
selama tiga tahun berkuliah di sini, susah bagiku untuk tidak melihatnya.
Karena ia ada di mana-mana.
Di
banner fakultasku, di ucapan selamat datang di gedung rektorat, di media sosial
Badan Eksekutif Mahasiswa. Karena, ketua OSIS yang dulu menggantikanku memakan
pare itu, kini menjadi Presiden BEM di universitas kami.
Aku
tersenyum getir. Ia di depan sana masih menyadari keberadaanku dan Farida, dua
orang adik kelasnya yang akhirnya lolos menjadi pengurus OSIS semasa SMA dulu.
Dan aku, adik kelasnya, yang akhirnya menjadi pengagum setianya hingga
bertahun-tahun. Hanya karena tragedi buah pare. Aku yang kemudian menjadi
bercita-cita masuk jurusan yang sama dengannya, mengikutinya dalam setiap
kegiatan OSIS, hingga kami selalu dekat. Di manapun, dulu. Di mana ada Akmal,
disana ada Almaya.
Tapi
itu dulu,
Sebelum
semua harapanku tentangnya ternyata semu.
***
Lapangan
sekolah, bulan September lima tahun lalu.
“Almaya,
tolong stand nomor empat dihubungi pemiliknya, ya. Kamu tau, kan?”
Suara
khas itu selalu membuatku berdebar meski nada bicaranya biasa saja. Aku, yang
pada dasarnya memang baperan selalu suka saat ia menatapku, menyuruhku ini itu.
Padahal Farida bilang, dia memang selalu perhatian pada setiap orang. Tapi aku
tak peduli. Aku selalu suka saat ia menyuruh-nyuruhku di lapangan setiap kali
ada event OSIS yang harus kami kerjakan. Dia ketua, sedangkan aku hanya salah
satu staf divisinya. Namun di manapun kami pergi, ia selalu mengandalkanku.
Bukankan itu pantas membuatku tersanjung?
“Siap,
Kak. Almaya paham,” jawabku dengan senyum sebaik mungkin. Farida yang berada di
sampingku menatap jengah.
Aku
berlalu menuju stand nomor empat seperti yang ia suruh, dan Farida mengekor di
belakangku.
“Bisa
ga sih, kamu jangan suka sama dia? Dia fansnya dimana-mana,” ucap Farida
jengkel di tengah riuhnya lapangan sekolah siang ini. Anak-anak dari SMA lain
berlalu lalang, pedagang beramai-ramai menjajakan dagangannya di lapak-lapak.
Hari ini, ada acara ulang tahun sekolah, dan kami pengurus OSIS menjadi
panitianya.
Aku
tertawa mendengar Farida. “Cuma suka, gak masalah kan?” Farida bertambah
melengos. Ia selalu sebal saat aku menceritakan tentang Kak Akmal, dan segala
kelebihannya di mataku.
Iya,
hanya suka. Tak masalah, kan?
Kukerjakan
tugas yang diberikan Kak Akmal kepadaku sebaik-baiknya. Menghubungi pemilik
stand, lantas mengontrol jalannya acara, dan segala tugas lain yang mestinya
bukan tugasku yang hanya menjadi divisi konsumsi di acara ini. Tapi aku tak
masalah, aku senang mengerjakannya. Apalagi rasa senangku bertambah kala ia
memberikan perhatian khusus kepadaku.
“Buat
kamu,”
Ucap
laki-laki jangkung itu kepadaku, menyodorkan sebotol minuman dingin saat aku
akhirnya duduk beristirahat. Rasanya bunga-bunga lebih mekar dari biasanya saat
kulihat wajah tulus itu tersenyum, dan keramaian di sekitarku seakan ditelan
kesunyian.
Aku
kembali menatapnya, tersenyum malu. Lihat, hal seperti ini yang membuatku yakin
kalau aku spesial di matanya.
“Terimakasih.”
Kami
duduk berdua di bawah pohon perdu di pinggir lapangan sekolah. Terdiam, dengan
segala pikiran memenuhi kepalaku. Pikiran tentang manusia yang sedang duduk di
sampingku sekarang. Dan kami masih di sana selama beberapa waktu, hingga ia
sadar harus kembali ke lapangan untuk mengurus beberapa hal.
“Aku
pergi dulu, Almaya,”
Aku
tersenyum menatapnya pergi. Dan aku tidak tahu, sedari tadi sepasang mata menatap
kami dari kejauhan.
***
Kenapa
sepercik kenangan kecil itu muncul lagi? Farida masih terdiam di depanku,
menatap dengan wajahnya yang khawatir. Aku tersenyum, berkata bahwa semua sudah
berlalu dan aku baik-baik saja. Semua sudah tertinggal di belakang.
Aku
mengalihkan pandangan pada tugas artikelku yang tidak juga selesai. Lantas
menutup laptop dan membereskan barang, berniat pergi dari sana sebelum semua
kenangan yang ingin kubuang itu muncul lagi. Aku menutupi wajah dengan masker
agar ia tidak melihatku di sini. Dan, harapanku meleset.
Ia,
dari jarak beberapa meter, memanggilku nyaring.
“Almaya!”
Deg.
Jantungku serasa berhenti sejenak ketika kulihat senyum dengan mata bersinar
itu mendekat, menujuku.
“Kamu
di sini juga? Untung aja kita ketemu di sini!”
Masih
sama. Wajah itu masih sama cerahnya sejak terakhir kali aku melihatnya di
Instagram BEM kampus kami. Senyumnya masih sama indahnya sejak terakhir kali
aku melihatnya di salah satu seminar yang ia hadiri. Aku terpaku, menahan
debaran yang selalu muncul kala melihatnya.
Farida
menggenggam tanganku yang dingin, menguatkanku. Ia tau, aku gagal lagi mencegah
semua perasaan ini tumpah kembali setelah berbulan-bulan aku berhasil
bersembunyi darinya.
“Kamu
sehat, kan? Kenapa chatku nggak dibalas?”
Aku
tersenyum getir. Farida di sampingku membuang muka.
“Aku..”
“Kak
Akmal!”
Perkataanku
tertahan oleh sebuah panggilan untuknya. Aku dan Farida ikut menoleh, menatap
gadis cantik berambut sepunggung yang tiba-tiba datang entah dari mana. Aku menatapnya
yang langsung menghampiri laki-laki di depanku, lantas mendekat padanya. Hilang
sudah semua keramahan di wajah Farida, dan senyumku bertambah getir.
Gadis
itu tersenyum cerita. “Eh, ada Alma! Hai, Al, lama ga ketemu,”
Aku
menahan luka yang kembali berdenyut. Dan inilah alasanku tak lagi ingin
mengingatmu, apalagi membalas pesanmu, Kak Akmal.
“Halo,
Irena.”
***
Di
lapangan sekolah itu, lima tahun lalu yang sama.
“Alma!”
Seseorang
memanggilku di tengah kesibukanku menata barang-barang di dekat panggung
hiburan. Aku menoleh dan tersenyum. Irena berdiri di sana, sambil tersenyum
sumringah.
“Lagi
ngapain?”
“Beresin
barang, Na. Kamu abis dari mana?”
“Rahasia,
hehehe.” Ia tersenyum misterius. Aku tertawa menanggapinya. Setelah lama
berlalu, kami menjadi teman dekat sejak kejadian buah pare saat seleksi OSIS
dulu. Kami berdua pada akhirnya sama-sama masuk menjadi pengurus. Aku senang
sekali, gadis cantik yang memiliki banyak penggemar ini mau berteman dekat
denganku.
“Alma,
aku seneng banget.” Ujarnya saat aku akhirnya punya waktu untuk istirahat
kembali. Riuh rendah dari keramaian perlombaan yang diadakan di sekolah kami
membuatku merapatkan dudukku padanya agar bisa mendengar suaranya.
“Kenapa?”
Tanyaku menggodanya. Irena cantik dan terkenal, pasti ia akan cerita tak jauh
dari laci mejanya yang dipenuhi bunga lagi.
Irena
tertawa. Lantas malu-malu berbisik di telingaku.
“Kak
Akmal beliin aku minum. Hihihi.”
Disodorkannya
gelas minuman yang berisi separuh, botol minum yang sama dengan yang sedari
tadi kugenggam di tangan. Aku menatapnya, lalu memaksakan senyum.
Dan
siang itu aku tau, Farida benar. Kak Akmal baik kepada setiap orang.
***
bersambung ke part 2.
Komentar
Posting Komentar