Cerpen: Korona, Kirana, dan Beras Ibu



 

Memasak nasi ternyata bisa menjadi kegiatan yang membuatku berpikir akhir-akhir ini. Bagaimana ajaibnya setangkup beras dicuci, direndam air, lalu dimasak hingga berubah menjadi nasi. Perubahan nyata dari padi, bongkah bebijian menuju nasi yang tersaji di setiap meja makan. Menjadi pengamat saat memasak nasi ternyata mengasyikkan. Dan kegiatan ini bermula sejak aku libur kuliah, lebih tepatnya libur karena terpaksa.

Semenjak sebuah virus kecil mematikan bernama covid-19 melanda, dunia seolah berubah. Virus berbentuk droplets itu menyebar melalui sentuhan, memaksa orang-orang untuk tetap di rumah dan menjauhi keramaian. Pekerja dirumahkan, anak sekolah diliburkan. Termasuk aku, yang kini mengisi hari dengan membantu ibu. Bagiku setelah corona menyerang, duniaku meradang. Sialnya, namaku mirip dengan virus itu, Kirana. Beda beberapa huruf saja. Huft.

“Kirana, berasnya udah?” Ibu menegurku yang sedang melamun menatap aliran air kran. Buru-buru aku mengangguk, lalu memastikan beras putih itu bersih dan siap dimasak. Aku lalu memasukkan beras ke dalam periuk dan memastikan agar berasnya terendam sempurna. Aku sedang membantu ibu menyiapkan menu berbuka puasa.

“Nanti anterin makanan ke rumah Mbah Sumi, ya. Jangan lupa pake masker,” ujar ibu sambil mengaduk kolak yang hampir matang. Aku mengacungkan jempol, siap. Itu juga salah satu kegiatanku, mengirimkan makanan ke tetangga. Kata ibu, Mbah Sumi kini tak bisa bekerja lagi. Pekerjaannya sebagai penjual pecel di GOR otomatis tak bisa dilakukan sejak corona melanda. Ia dan keempat cucunya terancam tak bisa makan.

Kata ibu dan bapak, keluargaku beruntung. Bapak yang bekerja sebagai PNS masih bisa mendapat gaji meski tidak bekerja, jadi kami masih aman. Dapur ibu masih mengepul, keluarga kami bisa berlindung dari wabah, aman di dalam rumah. Meski kakak sulungku, Mas Wicak, yang sedang berkuliah di luar kota masih tertahan karena tak bisa pulang. Setiap hari ibu khawatir, menelpon Mas Wicak, memastikan kabar. Aku juga kadang sebal karena Mas Wicak enak saja betah berkuliah di kota, sementara aku harus membantu ibu di sini. Tapi setidaknya, keluarga kami masih beruntung. Aku dan dua adikku tidak pernah kelaparan di rumah. Bahkan dua krucil itu kini sedang asyik bergulingan di ruang keluarga, menonton televisi.

“Kirana, sekalian anterin beras ke rumah Wak Yusi, ya. Jangan lupa.” Ujar ibu. Aku lagi-lagi mengangguk. Suami Wak Yusi positif corona di Jakarta, jadilah kini ia sendirian tanpa biaya.

Aku bersiap mengantar makanan untuk Mbah Sumi dan beras untuk Wak Yusi. Kubuka tempat penyimpanan beras ibu, lantas menciduk dua gelas. Kutimbang-timbang, mungkin cukup. Sepertinya isi jambangan beras juga sudah tidak sepenuh biasanya, terlihat kosong. Aku mengangkat bahu, mencoba tak peduli. Mungkin sebentar lagi harus beli beras.

***

Malamnya, aku terjaga. Aku mendengar obrolan ibu dan bapak. Sekilas, aku mendengar namaku dan adik-adikku disebut.

“Beras sebentar lagi habis, Pak. Gaji Bapak juga bulan depan dipotong, kan?”

Terdengar helaan nafas bapak. “Kurangi pengeluaran yang lain, cukup untuk bahan pangan saja,” dan kudengar ibu menjawab mengiyakan.

Aku tertegun. Kutatap langit-langit kamar sambil melamun. Terbayang sore tadi ibu dengan ringan menyuruhku mengantar makanan dan beras untuk tetangga. Ternyata, kami sendiri juga hampir kekurangan. Kutahan air mata yang hampir mengalir dengan menggigit bibir. Aku tidak mengerti.. kenapa ibu melakukan ini. Aku ingin menelpon Mas Wicak dan mengadu, namun urung. Aku tidak mau menambah beban pikirannya yang sedang sibuk kuliah.

Besok sorenya saat menyiapkan buka puasa, ibu bersikap seolah baik-baik saja. Ibu masih menyuruhku memasak nasi, lantas menggoreng kerupuk. Lagi-lagi aku memandangi jambangan nasi yang mulai kosong. Teringat ucapan bapak semalam, kini kami harus berhemat.

“Kirana, jangan lupa nanti sore anter makanan, ya. Sekalian hari ini anterin beras buat Mas Anto, katanya istrinya lagi sakit,”

Aku menatap ibu. “Bukannya kita sekarang harus hemat, Bu?”

Ibu menoleh. Wajahnya tertutup uap dari panci, lantas ibu mengibaskan tangan. “Kenapa, Na?”

Aku menyodorkan beras dalam periuk. “Beras kita tinggal sedikit,” jawabku terbata.

“Ooh.” Ibu nampak santai, lalu melanjutkan mengaduk kolak yang belum matang. “Nggak papa, masih banyak cadangan. Yaudah buruan masak nasinya,”

Aku menyalakan kran air, mengisi periuk agar berasnya terendam. “Ibu jangan bohong sama Kirana. Kirana denger semuanya,” ujarku di sela-sela suara kucuran air.

Ibu berhenti mengaduk kolak. “Bohong apa?”

Aku mendesah. “Kita lagi nggak baik-baik aja, kan, Bu. Cadangan beras udah habis. Gaji bapak dipotong. Mas Wicak juga butuh kiriman uang,. Tapi kenapa ibu ringan ngasih beras dan uang ke orang lain? Padahal ibu juga kesesusahan,” aku menjawab sambil menahan air mata. Mendengar itu, ibu sempurna berhenti mengaduk kolak. Panci ia tutup. Lalu ibu menghadap ke arahku.

“Ada urusan-urusan yang lebih penting dari urusan kita sendiri, Na. Membantu orang lain adalah kewajiban kita, karena kita lebih mampu.” Aku hendak menjawab, namun air mataku tumpah duluan. “Na, masalah ini tidak sepele. Kalau setiap orang hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya, corona ini akan membunuh orang lain bukan karena positif sakit, tapi karena kelaparan.” Aku sempurna terdiam. Kran air kumatikan.

“Kamu tau kenapa Allah turunkan ujian corona ini?”

Aku menggeleng.

“Bisa jadi, Allah kirimkan corona untuk menguji kita. Siapa yang masih mau menolong saudaranya meski dirinya juga membutuhkan. Siapa yang masih peduli meski ia juga perlu. Dan siapa yang tidak menyembunyikan tangan, tidak berbuat apa-apa melihat saudaranya kesusahan..,”

“Kamu ngerti?”

Aku masih diam. Menolak setuju, keluarga kami juga terancam!

Ibu mendesah, menatapku. “Kamu tau kenapa ibu mengizinkan Mas Wicak tidak pulang?” aku menggeleng, tidak tahu. Bukannya Mas Wicak terjebak PSBB?

“Lebih dari itu. Ibu mengizinkan Mas Wicak pergi, karena kakakmu menjadi relawan covid di sana.” Aku menatap tak percaya. Tidak mungkin. Kakakku yang jarang pulang itu ternyata karena menjadi relawan.. Begitu bodohnya aku, selama ini tidak tahu. Aku tidak bisa lebih terkejut lagi. Aku merasa bersalah pernah kesal padanya, karena Mas Wicak bisa santai berkuliah tanpa harus memikirkan kami di sini. Ternyata.. beban pikirannya mungkin lebih banyak. Kakakku menerjunkan diri ke tengah wabah, demi misi kemanusiaan.

“Dunia ini hanya titipan. Harta benda, anak-anak, semua milik Allah. Akan diambil sewaktu-waktu. Maka ibu dan bapakmu sudah bertekad, kami menghibahkan semuanya di jalan Allah. Bahkan kalau anak-anak ibu harus pergi, asal untuk berjihad di jalan Allah, ibu rela..”

Dapur lengang. Hanya tersisa deru kompor yang menguapkan asap, tanda kolak sudah matang. “Kamu tau ga, apa yang membuat kita disebut manusia?” Aku menggeleng lagi, entahlah.

“Karena kita peduli.. kita punya rasa empati. Itu yang membuat kita menjadi manusia..

Kamu paham sekarang?” Aku sempurna mengangguk. Air mataku luruh, bercampur dengan air bekas cucian beras yang menggenang.

“Sudah hampir ashar. Sana, bangunin adik-adikmu,” suruh ibu, mengakhiri percakapan.

Aku kini sadar, sungguh pemahamanku selama ini keliru. Mungkin perkataan ibu benar. Allah turunkan corona di bumi, juga menjadi ujian umat manusia. Untuk memilah, mana yang masih berhati nurani dan mana yang tak peduli. Karena satu tubuh akan merasa sakit meski hanya satu anggota lainnya yang terluka. Bukan waktunya untuk egois dan acuh di saat seperti ini.

Di balik kosongnya jambangan beras ibu, tersimpan hikmah untukku. Bukan tentang seberapa kaya dan sejahtera kita, namun seberapa peduli kita pada orang lain meski kita juga membutuhkan. Itu yang lebih penting.

Tiba-tiba layar handphoneku berkedip, menandakan notifikasi masuk. Aku mengecek pesan, dari temanku. Sudah berhari-hari ini ia mengirimiku pesan, mengajakku. Katanya dia ingin melakukan “kolaborasi kebaikan”. Menggalang dana, memberi bantuan untuk mereka yang terdampak corona.

Kemarin-kemarin, aku masih bimbang. Masih ragu karena konsekuensinya besar untuk pergi-pergi keluar rumah di saat seperti ini. Tapi perkataan ibu seolah menamparku. “Ibu telah menghibahkan kalian untuk berjuang di jalan Allah..,”

Lagi, kutatap jambangan beras ibu yang kosong separuh. Baiklah. Ya, benar. Di masa seperti ini, tak ada tempat untuk mementingkan diri sendiri. Bukan waktunya mengurusi urusan sendiri. Tanpa ragu, aku menjawab mantap.

“Ayo!”

***

haloo i'm come back. mau post tulisan-tulisan cerpen lama.

cerita ini masuk dalam buku antologi cerpen berjudul "Metamorfosa, Sebuah Catatan Perubahan", yang diterbitkan bersama cerita-cerita lainnya karya teman-teman di Kelas Kepenulisan Ramadhan yang diadakan oleh BMK Salman ITB. 

kalau kalian mau beli bukunya, siapa tau masih ada restock, kalian bisa cari di instagram @kubaca_indonesia. buku ini keuntungannya disumbangkan untuk penanganan covid-19. jadi kalau beli, sekaligus berdonasi :)

sampai jumpa lagi!

semangat menjalani hari. aku tau masa-masa ini sulit. tapi bertahanlah, ya? :)

Komentar

  1. Nice, sangat menginspirasi. QS. Ali Imran: 134

    BalasHapus
  2. Walaupun beras sudah hampir habis masih tetap berbagi dengan tetangga. Sosok ibu yang cerdas, cerdas mengelola harta. Lanjutkan mba Nisa👍👍👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer