Cerpen: Istana Langit
Siang
ini, Amina sedang bermain game di handphone sambil duduk beralaskan tikar
pandan. Ini hari ketiganya berlibur di rumah kakeknya di desa. Amina merasa
sangat bosan karena tidak ada sinyal
handphone di sini, sehingga ia tidak bisa menghubungi teman-temannya di kota. Kakek
yang hendak pergi ke kebun tersenyum melihatnya cemberut melulu.
“Amina,
yuk, ikut Kakek ke kebun!” Ajak Kakek. Amina lagi-lagi menolak, alasannya
karena ia takut serangga. Akhirnya, sekali lagi Kakek pergi ke kebun sendirian.
Amina
duduk mengamati halaman. Di tengah lamunannya, tiba-tiba ia melihat seorang
anak laki-laki yang mengendap-endap melewati semak belukar di depan rumah Kakek.
Amina curiga, jangan-jangan anak itu adalah pencuri ayam yang sering Kakek
keluhkan. Ia akhirnya memberanikan diri mengikuti anak itu dari belakang.
Anak
laki-laki itu berjalan menuju pematang sawah. Amina mengikutinya diam-diam
hingga akhirnya anak itu menghilang di balik pohon.
“Duh,
kemana ya dia?” Amina menggaruk-garuk kepalanya karena kehilangan jejak.
Tiba-tiba..
“DORR!”
“Huwaa!”
Amina menjerit karena seseorang mengagetinya dari belakang. Anak tadi
terbahak-bahak melihat wajah Amina yang pucat.
“Kamu!”
Amina kesal karena anak yang tadi ia ikuti malah kini mengagetkannya.
“Kamu
mengikutiku, ya?” Tanya anak itu.
“Eh?
Hehehe.. iya,” Akhirnya Amina menjawab dengan malu. “Habisnya kamu kelihatan
seperti mau mencuri!” Ujarnya membela diri.
“Makanya,
jangan berburuk sangka!” Kata anak itu. Amina tersenyum malu karena ia salah
mengira.
“Oh
iya, namaku Langit. Kamu pasti Amina, cucunya Kakek Hasan yang datang dari
kota, kan?” Tebak anak itu. Amina mengangguk.
“Kamu
tidak pernah keluar dari rumah kakekmu selama ini. Memangnya kamu tidak bosan?”
Tanya anak itu yang ternyata bernama Langit.
“Tidak,
dong. Aku kan, selalu bermain handphone,” jawab Amina sombong. Padahal,
selama ini Amina bosan karena permainan di hape-nya itu-itu saja.
“Oh
ya?”
Amina
lagi-lagi mengangguk memamerkan handphone yang ia bawa di saku.
“Kalau
aku jadi kamu, aku sih, sudah bosan! Apa serunya menatap layar kecil itu
terus?” Ejek Langit.
Amina
marah mendengar handphone terbarunya diejek. “Hei, ini hape terbaru yang
mahal! Memangnya kamu punya?!”
Langit
menggeleng. “Aku memang tidak punya hape canggih. Tapi, aku punya istana yang
megah tempat aku bermain!”
Seketika
Amina terkejut mendengarnya. Benarkah anak ini mempunyai istana megah? Ia
penasaran sekali.
“Ayo
ikuti aku!” Ucap Langit.
Langit mengajaknya pergi menyusuri kebun.
Amina mengikuti di belakang.
Akhirnya
kedua anak itu berjalan beriringan. Awalnya, Amina merasa lelah berjalan. Tapi
kelelahannya tidak terasa karena ia melihat banyak hal baru yang dilewatinya.
Mereka melewati sungai yang berkelok, juga padang rumput yang luas. Hamparan
pepohonan yang hijau dan bunga warna-warni memanjakan mata. Sejauh mata
memandang, Amina selalu menatap pemandangan di sekitar dengan kagum.
“Lihat!
Burung itu berwarna biru!”
“Wah,
iya! Ada juga kumbang yang berwarna emas!” Keduanya asyik menikmati pemandangan
di sawah.
Di
tengah jalan, Amina tiba-tiba berteriak karena melihat laba-laba besar yang
membuatnya takut. “Aku takut serangga!” Keluhnya pada Langit.
Langit
tertawa. “Hei, kumbang berwarna emas tadi juga serangga, tau. Tidak semuanya
menyeramkan, kok!”
Amina
takut-takut membuka mata.
“Ayo,
kamu pasti bisa melewatinya!” ujar Langit menyemangati. Akhirnya, Amina
berhasil mengatasi rasa takutnya. Ia berhasil melewati perjalanan yang jauh
itu.
“Kita
sudah sampai.” Kata Langit akhirnya, setelah mereka berjalan hingga matahari
tampak mulai teduh.
Amina
celingak-celinguk, mencari istana yang Langit bilang. “Mana istanamu? Kamu
bohong, ya?” Amina marah karena tidak ada istana apapun di sana.
Langit
tersenyum. Ia menunjukkan sebuah pohon besar di depannya, yang ternyata
terdapat tangga di dahannya. “Lihat, ini istanaku. Ada di atas pohon ini.”
Amina
melongo heran. Bagian mananya yang bisa disebut istana?
Langit
kemudian mengajaknya naik. Mereka kemudian menaiki tangga itu. Betapa takjubnya
Amina, ternyata di atas pohon tadi ada rumah kecil yang terbuat dari kayu.
Sebuah
rumah pohon!
Takut-takut,
Amina memanjat ke rumah pohon itu tanpa memandang ke bawah. Ia berpegangan
dengan erat. Dan ketika sampai di atas, ia terkejut.
Wah.. ternyata pemandangan dari sini indah sekali!
Sejauh
mata memandang, ia bisa melihat hamparan sawah yang mulai menguning. Sungai
yang tadi ia lewati tampak berkelok indah, dihiasi pepohonan yang rindang.
Langit sore yang berwarna jingga terlihat seperti lukisan. Amina memandang
dengan takjub. Ia tidak sadar kalau pemandangan di sekitarnya sangat cantik.
“Inilah
istanaku, Amina. Aku bisa melihat hamparan langit yang luas dari sini. Indah,
bukan?”
Amina
mengangguk sambil tersenyum.
“Lihat,
aku bisa memandangi dunia dari istanaku. Bagaimana denganmu? Apakah kamu bisa
melihat indahnya dunia dari gadget kesayanganmu?”
Amina
terdiam. Jadi, inilah alasan Langit membawanya ke sini.
Istana
Langit tidak seperti yang Amina bayangkan, namun lebih indah. Perjalanan menuju istana Langit juga menyenangkan. Ia
bisa menemukan banyak hal baru yang jarang ia temui. Tidak sepertinya, yang
terkurung dalam dunia digital bernama handphone. Amina jadi iri pada Langit.
Meski tidak punya gadget paling canggih, ia punya dunia yang begitu luas untuk
dijelajahi.
“Dunia
ini luas, Amina. Istana di luar sana menunggu untuk kamu temukan.” Ucap Langit
sambil tersenyum.
Sepulang
dari sana, Amina jadi sadar, kalau selama ini ia jarang melihat dunia luar. Ada
banyak pemandangan, permainan, dan istana yang lebih indah daripada sekadar
memandangi layar handphone-nya. Kini ia berjanji, untuk mulai membuka
diri pada lingkungan sekitar dan menjelajahi indahnya dunia.
Berkat
istana Langit, Amina juga mulai membangun istananya sendiri. Bagaimana
denganmu? Apakah kamu juga punya istana indah untukmu menjelajah?
tamat.
***
halo. hai hai.
cerpen ini menjadi Juara 1 dalam Lomba Menulis Cerita Anak Nasional yang diadakan oleh Fun Bahasa dalam acara Festival Menulis Cerita Anak. cerpen ini juga akan dibukukan dalam Buku Cerita Anak yang diterbitkan oleh penerbit Alinea Publishing.
ini pertama kalinya aku nulis cerita untuk anak-anak yang beneran sampai selesai. pas nulis aku mikir, ini kayaknya bahasanya ketinggian buat anak-anak gak ya.. ini mah jauh banget dari anak-anak 😂 dan aku nulisnya mendadak, ngirimnya pun h-1 jam sebelum penutupan ehehe. biasa, deadliner.
jujur, aku ga ada kepikiran menang. bahkan terpilih sebagai naskah yang dibukukan juga nggak kepikiran, deh. tapi memang suka gitu. kalau aku pikir tulisanku bagus, biasanya nggak goal sampe menang. saat aku mikir tulisanku kayaknya hopeless, malah hasilnya di luar ekspektasi. menang, juara 1 nasional pulak. ya Allah, alhamdulillah :') kaget banget tiba-tiba ada notif WA nanyain alamat buat ngirim hadiah. aku langsung kayak, "lho? haah?" wkwkwk
anyway, cerpen ini mungkin menang karena idenya yang orisinil. ini adalah kegundahanku untuk anak-anak jaman sekarang. fyi, dulu aku suka ngarang dongeng untuk adikku yang paling kecil, aku bikinin seorang tokoh fabel namanya Dino sang dinosaurus baik, hihi. dan ceritanya paanjaaaanggg banget karena buat nemenin dia kalo mau tidur. tapi sayangnya gak aku tulis, jadi menguap deh. dan sekarang dia udah gede, udah sibuk sama hape jugak 😢 makanya cerita ini mungkin juga muncul dari situ haha.
aku tau cerita ini jauh dari kata sempurna untuk cerita anak-anak, tapi semoga bermanfaat. ditunggu kritik sarannya ya!
Komentar
Posting Komentar