Cerpen: Suatu Hari dari Masa Lalu



Matahari bersinar terik ketika seorang mahasiswi berjalan tergesa menuju kampusnya. Ia menyeka keringat yang mengucur di dahi, lantas matanya terbelalak menyadari jarum panjang di jam tangannya sudah mencapai angka delapan. Gawat, lima menit lagi kelasnya akan segera dimulai. Ia mulai mengambil ancang-ancang berlari. Gamis panjangnya ia cincing hingga terangkat sedikit, dan setelah itu langkahnya lebar-lebar berlari menuju kelas di lantai tiga.

“Ya Allah.. kenapa harus di lantai tiga..,” ia mengeluh di sela nafasnya yang terengah-engah berlari. Dan beberapa detik ia sadar, ini salahnya sendiri karena keasyikan menulis hingga lupa waktu.

Ia mulai berlari melintasi anak tangga demi anak tangga dari lantai bawah hingga lantai teratas. Hatinya berharap semoga dosen killer yang mengajar hari ini terlambat sedikit, meski kemungkinan tersebut nyaris nol karena dosen yang akan mengajar ini terkenal paling disiplin. Jika ada mahasiswa yang terlambat satu menit saja, maka tidak diperbolehkan masuk. Beruntung jika boleh pulang, namun masalahnya dosen satu ini melarang mahasiswa yang terlambat untuk masuk kelas ataupun kembali ke rumah. Jika ada mahasiswa yang terlambat, maka hukumannya yaitu berdiri di depan pintu kelas hingga pelajaran selesai. Maka dari itu, para mahasiswa lebih baik membolos daripada harus terlambat dan dihukum oleh dosen ini. Namun masalahnya, gadis ini sudah dua kali absen di mata kuliah ini. Jika satu kali lagi absen, ia akan mendapat piring cantik alias tidak diperbolehkan ikut ujian. Dan itu berarti, ia harus mengulang di semester berikutnya.

Langkah kakinya mulai tak karuan saat melewati anak tangga ke-tujuh puluh. Ia berhenti sejenak, mengatur nafas. Lantas ia berjengit kaget saat menyadari, kurang dari satu menit lagi kelas akan segera dimulai.
“Ya Allah!” Pekiknya.

Dan harapannya serasa pupus karena ketika ia tiba di ruangan yang dituju, pintu ruangan tersebut sudah tertutup, menandakan si dosen killer sudah memulai pelajarannya. Air matanya hampir menetes, ia kesal sekali pada dirinya sendiri. Ia mengelap ujung mata, lantas menguatkan hati untuk mengetuk pintu di depannya.

“Anda tau konsekuensinya apa untuk mahasiswa yang terlambat, bukan?” Sambut dosen itu sesaat setelah ia memasuki ruang kelas. Teman-temannya menatap iba, namun juga tak bisa berbuat apa-apa.

“Iya, Bu,” jawabnya pelan.

Setelah mengisi absensi, ia segera menyeret langkahnya ke depan pintu, bersiap menjalankan hukuman. Ia menghela nafas pelan. Bertekad dalam hati, ini kali terakhirnya datang terlambat.

Dua puluh menit kemudian, saat kakinya mulai pegal, ia berniat izin ke kamar mandi, modus untuk beristirahat sejenak. Belum ia beranjak, tiba-tiba seseorang menerobos pintu melewatinya dan masuk ke ruang kuliah dengan santainya, mengabaikan dosen yang sedang menjelaskan.

“Anda, ngapain masuk?” Si dosen mulai terganggu.

“Mau kuliah, Bu,” jawab mahasiswa itu santai.

Raut wajah dosen killer itu memerah, pertanda tersinggung. “Kalau tidak berniat ikut kuliah saya, keluar! Siapa yang mengajarkan Anda terlambat dan tidak tahu malu?”

Gadis itu menelan ludah, ngeri. Ia yang terlambat satu menit saja tidak berani menantang dosen, mahasiswa yang terlambat dua puluh menit di depannya ini malah dengan santainya masuk seolah tanpa dosa. Dan beberapa saat kemudian, laki-laki itu keluar menuju pintu, bergabung di sampingnya untuk mendengarkan kuliah sambil berdiri.

Gadis itu melupakan niatnya untuk ke kamar mandi. Ia memandang wajah di sampingnya, mengernyit karena merasa tak pernah memiliki teman se-angkatan dengan wajah oriental seperti dia. Tapi.. ia yakin ia mengenal orang di sampingnya. Hatinya yakin, mereka pernah bertemu.

“Mas, mahasiswa angkatan atas, ya?” Gadis itu memberanikan diri bertanya, dan yang ditanyai tidak juga menoleh.

“Eh, maaf, bukan maksud menyinggung. Saya hanya penasaran, Mas bukan teman se-angkatan saya,” ia menggaruk kepala yang tidak gatal. Hatinya menyesali tingkat keingintahuannya yang dilengkapi kecerewetan, sehingga lagi-lagi ia kecolongan menahan lisannya untuk tidak bertanya.

“Memang bukan. Saya kesini cuma mau mendalami ilmu, bukan kuliah. Nggak masalah kalau nggak absen,” jawab laki-laki itu, dingin. Seolah mengejek Si Gadis yang terpaksa berangkat kuliah karena mengejar nilai kehadiran.

“Oh.” Terjawab sudah rasa ingin tahunya. Sepertinya memang benar mahasiswa ini kakak tingkat, yang hanya datang kesini karena ingin belajar. Tapi masih ada satu hal lagi yang membuatnya penasaran. Kapan.. dan dimana ia pernah bertemu dengan laki-laki ini?

“Itu yang sedang dihukum. Siapa yang mengizinkan kalian mengobrol?”

Telak. Teguran dosen killer itu membuat rasa penasarannya terbungkam.

***
“Kamu tadi bicara apa sama dia?”
Pertanyaan dari seorang teman itu membuat Si Gadis kembali teringat rasa penasarannya. Kantin fakultas sedang ramai-ramainya, ia dan temannya memesan soto betawi kesukaan mereka.

“Cuma nanya. Dia kakak tingkat, ya?”
Temannya mendengus, kemudian tertawa. “Gimana mungkin kamu lupa? Dia teman angkatan kita di SMA. Lain jurusan, tapi masih satu fakultas”

“Apa? Tapi kenapa dia nggak menyangkal?” Temannya hanya mengangkat bahu. “Pantas aja.. aku merasa pernah bertemu,”

“Mau kuingatkan sebuah rahasia kecil? Dia itu penolongmu.”

Penolong?

***

Gedung SMA, tiga tahun lalu.

“Lepas! Kalian pikir kalian siapa, hah?!” Gadis itu meronta, mencengkram tangan yang memegangi bahunya. Air mata membasahi pipi, deras.

“Lo yang siapa? Lo pikir lo cantik, sampe-sampe sok jual mahal segala? Hijab yang lo agung-agungkan ini, semuanya sampah!” mulut di depannya membalas teriakannya, berteriak dengan penekanan yang menyakitkan.

“Lo pikir kita nggak tau, siapa sebenernya ibu lo itu? Pelacur!”

Air matanya menderas. Isakannya tak bisa ia tahan. Kalimat itu, membuat hatinya sakit, lebih sakit dari pipinya yang bekas ditampar. Apa salahnya, hingga ia harus mengalami ini. Apakah sebuah penolakan pernyatan cinta dari seorang pemimpin preman sekolah lantas membuatnya pantas diperlakukan seperti ini?

“Hidup lo itu munafik! Jangan lo bicara dalil-dalil, sementara lo sendiri hidup karena hasil dosa orangtua lo!”

“Diam! Jangan bicara tentang orangtuaku! Kalian nggak tau apa-apa!” Kesabaran gadis itu telah habis, hatinya tercabik. Laki-laki di depannya ini, sejak tiga bulan lalu mendekatinya. Ia pura-pura tidak tahu kalau ia dijadikan bahan taruhan. “Seorang gadis dengan jilbab lebar, siapakah yang bisa mendapatkan hatinya?” Begitu bunyi taruhannya. Dan ia, telah menghabisi ego serta kecongkakkan laki-laki ini, dengan satu kata penolakan.

Plak! Satu lagi tamparan ia dapatkan. Air matanya tak berhenti mengalir. Di pelupuk matanya, tergambar bayangan ibunya yang tersenyum mengatakan, “kamu bukan anak haram. Orang-orang itu tidak tau apa-apa, Sayang,”

“Berani lo bicara sama gue. Lo nggak akan bisa membayangkan, seberapa jauh apa yang bisa gue lakukan.” Kalimat itu terucapkan disertai senyum miring, membuat nyali gadis itu ciut. “Allah.. Allah..” hanya itu yang bisa ia gumamkan dalam hati. Ia takut, melebihi apapun di hari ini.

Kerah bajunya diangkat, membuat gadis itu kesulitan bernafas. Di hadapannya, laki-laki itu dan kawan-kawannya tersenyum sinis. Laki-laki itu mengangkat tangan, bersiap untuk melakukan hal terkeji yang bisa ia pikirkan untuk membalas gadis ini, melepas jilbabnya, menghancurkan harga dirinya.

“Berapa harga diri lo? Gue bisa beli itu semua,” ujarnya, mengerikan di mata sang gadis. Mulutnya terkunci, gemetar.

Dan seperti dalam kisah kepahlawanan, saat-saat berharga itu tiba. Tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, seseorang itu muncul. Ia muncul saat mata sang gadis sudah terlalu lelah untuk menangis, tenaganya habis untuk berontak, lisannya sudah lelah untuk melawan.

Bruk! Laki-laki yang semula hendak merampas jilbabnya tersungkur ke tanah. Kawan-kawannya panik, buru-buru mendekat. Gadis itu terjatuh.

“Sialan!” Geram laki-laki itu.  “Siapa lo, hah?!”

Gadis itu memandang penolongnya nanar. Hatinya ciut, apakah benar ada seseorang yang menolongnya, atau justru mempermainkannya. Matanya buram oleh air mata, namun telinganya masih berfungsi dengan jelas ketika seseorang itu bicara padanya,

“Pergi. Pergi dari sini.”

Gadis itu menelan isak, lantas tersuruk-suruk bangun. Ia memekik ketika lengannya ditahan, namun tak beberapa lama orang yang menahan lengannya juga ambruk oleh hantaman keras.

“Cepat. Pergi.” Kalimat itu memerintah kakinya untuk berlari, menjauh sekuat tenaga. Air matanya tumpah ruah, isakannya tak bisa ia cegah. Ia menuruti kata-kata itu, pergi. Pergi sejauh mungkin.

Orang-orang memandangnya aneh ketika gadis itu keluar dari gudang sekolah dengan wajah penuh air mata dan jilbab yang terkoyak.

Pergi. Ia memang menuruti kata-kata itu, untuk pergi sejauh mungkin. Ia terus berlari, menjauh dari kenangan pahit yang menyiksanya berbulan-bulan. Ia mungkin terlalu mematuhi perintah itu, hingga ia pergi dari sekolah lamanya dan memilih tempat baru untuk melanjutkan hidup. Ia pergi dari kisah lamanya yang kelam dan teramat menyakitkan untuk seorang gadis berusia 17 tahun. Ia pergi, benar-benar pergi tanpa tahu bagaimana kelanjutan peristiwa kelam di sore hari itu.

Hatinya benar-benar hancur, namun masih ada nurani yang tersisa di sana. Bagaimanapun, ia masih bisa tersenyum setelahnya. Ia masih menjalin persahabatan dengan orang-orang dari sekolah lamanya, namun kenangan itu sudah ia buang jauh-jauh dari ingatan. Kenangan pahit itu mengajarinya satu hal, bahwa Allah memberikan cobaan selalu sepaket dengan kemudahan. Ia percaya bahwa pertolongan Allah itu ada, lewat seseorang yang tak dikenalnya. Ia percaya, apa yang menimpanya hari itu, tidaklah hadir tanpa hikmah untuk hidupnya. Akan hadir skenario dan kisah indah yang telah Allah siapkan untuknya.

Dan seseorang itu, benarkah ia kembali hadir dalam hidupnya? Apakah ini bagian dari skenario kisah itu?

Pandangan gadis itu menerawang, memandang langit-langit kantin yang dipenuhi jelaga tipis. Kali ini.. haruskah ia mengucapkan terimakasih kepada penolongnya, atas tiga tahun yang telah berlalu?

***

Gadis itu kini tengah menatap wajah sendu ibunya. Ingatannya kembali pada kejadian tadi siang, saat ia bertemu dengan laki-laki itu, penolongnya dulu. Pantas saja, suaranya seperti tidak asing. Pantas saja, ia seperti mengenal laki-laki itu. Salahkan saja dirinya yang dulu sempat ingin berhenti sekolah, hingga membolos selama dua minggu sebelum memutuskan pindah. Ia bahkan tak ingat dan tak tau siapa penolongnya.

“Ibu, benarkah aku anak haram?”

Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Salahkan saja, salahkan lagi sifatnya yang tak bisa mengendalikan rasa penasaran ditambah dengan kecerewetan berbicara.

Ibunya tersenyum, alih-alih terkejut. “Maaf, Bu. Aku meragukan Ibu,” ujar gadis itu menyesal. Pertemuan tak sengajanya dengan lelaki penolong dari masa lalu tadi siang entah kenapa seolah membuka tabir dirinya dengan takdir yang ingin ia ketahui.

“Bukan, Nak. Percayalah..”

“Tapi bagaimana bisa orang-orang memanggilku seperti itu, Bu?” Gadis itu terisak.

“Kadang, manusia memang senang sekali merendahkan orang lain, hanya untuk merasa bahwa mereka lebih tinggi derajatnya dan lebih baik kedudukannya. Padahal Allah sudah bilang, manusia terbaik itu dilihat dari amal perbuatan dan ketakwaannya, ya kan, Sayang?”

Gadis itu mengangguk. Bahkan suara ibunya masih sama, lembut seperti dahulu, saat ia pulang dengan menangis dan terisak di pelukan ibunya. Saat itu, ibunya berkata, “Allah akan melindungi hamba-Nya yang berpegang teguh pada syariat-Nya, sayang.. entah sekarang, entah nanti di hari kiamat.”

“Biar ibu ceritakan. Dulu, ibu dan ayah menikah. Tapi, ibu dan ayah menikah tanpa restu orangtua ayah, jadi kami menikah diam-diam dengan restu dari keluarga ibu. Kemudian ibu mengandungmu, Nak. Dan ketika itu, ayahmu meninggal. Ayah diambil Allah saat usia kandungan ibu empat bulan. Saat ibu melahirkan, keluarga ayah tidak terima dan menganggap pernikahan ibu tidak sah. Kamu dianggap lahir tanpa ayah oleh orang-orang,”

Gadis itu terisak. Kali ini, ia merasa bersalah kepada ibunya. Kali ini, ia sungguh percaya, bahwa dirinya lahir karena anugerah, bukan dari dosa orangtuanya, seperti yang orang-orang katakan.

“Maafkan Ibu..,”

Gadis itu tergugu. “Tidak, Bu. Maafkan aku..,”

***

Hari berikutnya, gadis itu tidak lagi datang terlambat ke ruang kelasnya. Ia duduk di barisan depan, karena ini adalah mata kuliah pilihan yang paling ia suka. Dan hatinya, entah kenapa berharap kali ini laki-laki penolongnya akan mengikuti kelas ini juga, meski kemungkinannya nyaris tak ada.

“ Hai,” seseorang menyapa. Gadis itu tersenyum menyambut temannya.

“Apa kamu nggak penasaran sama dia?” temannya bertanya gamblang, memprovokasi hatinya untuk terus berharap dapat menemui laki-laki itu lagi. Di sini, di kelas ini.

“Enggak. Sekarang, biarin aku fokus belajar,” jawabnya, membohongi hati.

Namun sepintar-pintarnya lisan memalsukan, binar mata dan senyum di bibir tak dapat menipu. Gadis itu bersorak dalam hati ketika dilihatnya laki-laki bermata sipit itu masuk ke dalam kelas  dan mengambil tempat duduk di deret belakangnya. Ia tersenyum, hari ini mereka berdua sama-sama tidak terlambat datang.

Temannya yang memperhatikan tingkahnya hanya tersenyum kecil. Ia tau, ini kali pertama sahabatnya merasakan perasaan seperti itu dalam hatinya.
Hari itu, sepanjang kuliah itu, gadis itu tak berhenti tersenyum. Ia bahkan tidak sadar akan dirinya yang merasa lebih riang. Ia tak berani memandang wajah laki-laki itu, meski hatinya ingin mengucapkan kata terimakasih yang ia pendam.

“Katakan saja. Enggak papa, aku temani,” kata temannya. Ia berjanji akan menemani gadis itu bicara, untuk mengucapkan kata terimakasih yang terlambat.

“Aku malu.” Jawabnya.

Namun entah bagaimana, serasa semesta mendengar hatinya, tiba-tiba laki-laki itu mendatanginya seusai kuliah. Gadis itu bingung dan tak tau apa yang harus ia katakan saat ia bertanya, “boleh aku bicara denganmu?”

“Oh.. iya, boleh, Mas,” ia menggaruk kepala yang tidak gatal, bodoh sekali memanggil seperti itu setelah tau bahwa mereka satu angkatan. Teman si gadis hanya memperhatikan, tertawa dan geleng-geleng kepala menyadari gelagat keduanya.
Dengan pandangan tertunduk, laki-laki itu berucap pelan, “hari ini aku akan ke rumahmu. Melamarmu.”

Tunggu, apa?

"Melamarmu. Ayo kita menikah dan lupakan masa lalu."

Akhirnya gadis itu tau, semua yang telah ia lalui, adalah skenario hingga ia sampai pada hari ini.

***

Ditulis oleh Nisa Fauztina yang saat itu baru menjadi mahasiswa dan daya imajinasinya kuat sekali. Maksudnya, baperan banget yaampun.

Kenapa sih aku suka cerita yang ada penyiksaannya?😂

Thanks for reading.



Komentar

  1. waaa suka bangeet mba. aku yang agak ga baperan, baper lho bacanya hihihi. semangat berkarya, mba Nisa!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer