Cerpen: Plagiat? Aku Tidak!
Aku melangkah sebal di sepanjang koridor sekolah. Di sebelahku, Yumi, sahabatku, berusaha menenangkanku. Tapi aku tepis karena aku sangat sebal sekarang.
Kalian mau tau kenapa?
Sini kuberi tahu.
Pagi ini, aku berangkat pagi ke sekolah dengan hati penuh semangat menggebu-gebu. Ketika sampai di sekolah, aku menengok majalah dinding yang ternyata baru dibuat oleh anak-anak dari komunitas mading. Aku mengaguminya sebentar, bagus seperti biasa. Namun ketika aku menengok kolom artikel, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah artikel berjudul “Loyalitas dan Semangat Organisasi”.
Kenapa aku terkejut?
Bukan karena apa-apa, namun artikel itu sangat mirip dengan artikel buatanku yang aku post di blog milikku. Tidak, bukan mirip. Tapi sama persis! Hanya ada beberapa kalimat yang diubah. Tapi pada dasarnya, dia memplagiat karyaku. Dan yang menyebalkan, artikel di mading itu ditulis merupakan karya seorang murid. Bukan aku. Apa-apaan, itu jelas karya milikku. Aku hafal sekali. Judulnya saja sama.
Ketika Yumi tau, ia langsung mencegahku yang hendak lapor ke ketua komunitas mading. Soalnya Yumi takut aku akan marah-marah disana.”Ya lalu aku harus diem aja, Yum?” Tanyaku sebal. Yumi menelan ludah. “Sabar dulu.. jangan marah-marah,” ujarnya.
Aku akhirnya menghabiskan sisa hari itu dengan kekesalan tiada terbatas. Kesal dengan si anak yang memplagiat dan juga dengan diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa melakukan apa-apa?
Begini ternyata rasa kesalnya diplagiat. Bagi orang lain mungkin terlihat biasa saja, tapi bagi si pemilik karya yang diplagiat, rasanya seperti tidak dihargai dan jadi tidak semangat berkarya lagi. Bahkan yang lebih parah, bisa saja itu akan merugikan si pemilik karya.
Yumi di sebelahku hanya menghela nafas melihatku cemberut sepanjang hari. “Mau aku sampaikan baik-baik ke anaknya?” tanya Yumi. Aku menggeleng. “Tidak usah, nanti aku tambah sebel.” Yumi hanya diam.
Lalu sesaat kemudian ia bertanya, “diplagiat itu gak enak ya, Ras?”
Aku langsung menggeleng. “Misal kamu bikin tulisan. Terus satu paragraf aja dari tulisanmu dipake orang lain untuk membuat tulisan lain tanpa izin dan atas namanya, itu udah sebel, Yum.”
Yumi mengangguk.
“Tapi kamu kalo bikin karya gak gitu kan, Ras?”
“Maksudnya?” Aku bertanya tidak paham.
“Saat kamu bikin tulisan, kamu ga plagiat orang lain kan? Atau makai satu paragraf tulisan orang lain tanpa izin?”
Aku langsung menegakkan badan.”Ya enggak lah. Aku ga pernah plagiat, tau.” Jawabku. Yumi hanya tersenyum. “Iya, deh.”
Eh, tunggu. Benar kan, ya, aku tidak pernah memplagiat orang lain?
Yumi bertanya lagi. “Referensi tulisan kamu, kamu ga ambil tanpa izin juga kan?”
Aku diam. “Kamu lagi nyadarin aku ya, Yum?” dan Yumi tertawa. “Nyadarin apa?”
Masalahnya aku baru sadar, aku juga mengambil beberapa referensi tulisan dari artikel orang lain untuk kumasukkan ke tulisanku, sih. Dan aku tidak mencantumkan sumbernya, malah mengklaim bahwa artikel yang kubuat adalah murni hasil ideku. Berarti aku plagiat juga ya?
Yumi menepuk pundakku. “Jangan ngelamun, dong. Sekarang idemu apa nih, untuk si anak yang memplagiat artikelmu?”
Aku berpikir. “Hmm.. kayaknya ada beberapa hal yang harus aku perbaiki deh, Yum.” Ujarku mantap. Yumi memandangku penuh tanya. Dan aku hanya tersenyum misterius, menyimpan pikiranku.
---
‘Plagiat? Aku Tidak!’
Aku tersenyum puas dengan judul cerpen yang kubuat. Setelah aku yakin siap, kubuka browser dan log in pada blogger.com. Lalu aku memasukkan cerpen tadi, dan untuk sentuhan akhir, klik post.
Hehe. Aku tersenyum lagi.
Bisa ditebak?
Aku mengingatkan si anak yang memplagiat karyaku dengan cara tidak langsung. Kupilih cara ini, membuat tulisan berupa cerpen tentang betapa buruknya tindakan plagiat kepada seseorang.
Kumasukkan seluruh isi kepalaku dan ide-ide yang kupunya, kutuangkan dalam tulisan. Semoga siapa pun yang membaca ini akan sadar, bahwa plagiat itu tidak baik sama sekali. Dan harapan terbesarku adalah, semoga si anak yang memplagiat tulisanku pun membaca cerita ini. Jika ia bertanggung jawab maka alhamdulillah, jika tidak ya sudah terserah.
Dan aku telah merevisi semua tulisanku yang tanpa sadar memplagiat atau menjiplak karya orang lain. Baik dalam bentuk ide maupun paragraf. Semua referensi aku cantumkan di tulisanku, supaya orang yang membaca tau, bahwa ada orang lain yang memiliki ide atau pemikiran yang kutulis dan aku memakai tulisannya.
Indahnya menyadari kesalahan diri sendiri dan tidak menghakimi orang lain. Sungguh, deh. Dan betapa lebih senangnya lagi saat aku melihat keesokan harinya, si anak yang memakai tulisanku di mading telah mengganti namanya menjadi namaku sebagai seorang penulis di karya yang tertempel di mading. Berarti kemungkinan besar dia juga membaca artikelku semalam, hehe.
Intinya, di kejadian ini aku sadar, diplagiat itu tidak enak. Dan diri kita juga perlu mengoreksi, apabila kita merasa dicurangi oleh seseorang, apakah di lain waktu kita juga pernah mencurangi orang lain? Itu titik pentingnya. Ibaratnya, semut di seberang laut kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata malah tidak nampak.
So, guys. Jangan pernah kita memplagiat karya orang lain, apapun bentuknya. Karena saat kita menerima perlakuan yang sama, rasanya tidak enak. Jadi, jauhi tindakan plagiat ya, teman-teman!
Salam damai, Raras😊
-ditulis oleh Nisa Fauztina pada tahun 2017. Ketika masa SMA sedang begitu terasa dan kegiatan OSIS membuat hati berbunga-bunga.
Komentar
Posting Komentar