Beban Seorang Pemimpin
Alkisah. Pada zaman dahulu, ada seorang raja
bijaksana yang memimpin sebuah kerajaan besar. Kerajaan itu amat makmur dan
sejahtera, serta tersohor di negeri-negeri lain.
Seperti cerita raja biasanya, raja itu perlu
mencari pengganti baginya yang sudah uzur dan sakit-sakitan. Nah, disini aku
mau cerita tentang itu.
Raja tersebut memiliki dua orang putra. Keduanya sama-sama
pandai, sama-sama adil dan bijaksana untuk memimpin negeri. Jika ia memilih
salah satu diantara mereka untuk menjadi raja, maka putranya yang satu lagi
akan merasa kecewa.
Akhirnya, Sang Raja memilih jalan tengah. Ia membagi
kerajaannya menjadi dua bagian. Bagian barat untuk Si Sulung, dan bagian timur
untuk Si Bungsu. Kedua putranya ia jadikan raja dengan cara yang adil.
Ia memperhatikan kedua putranya menjalankan
kerajaan masing-masing. Si Sulung berhasil memajukan kerajaan barat dengan
mengangkat menteri-menteri yang cakap dan piawai. Si Bungsu memajukan kerajaan
timur dengan kehati-hatiannya menentukan kebijakan untuk rakyat.
Beberapa bulan kemudian, Sang Raja melihat
perubahan diantara kedua kerajaan. Kerajaan barat berhasil maju pesat dalam
ekonomi, namun politik dalam kerajaan barat mulai goyah. Banyak diantara
menteri yang mengincar kedudukan Si Sulung.
Kerajaan timur juga maju pesat dalam pembangunan.
Si Bungsu selalu mendengarkan pendapat rakyatnya dalam setiap keputusan kerajaan.
Ia tidak pernah bersantai walau sejenak meskipun ia juga memiliki banyak
menteri yang terpelajar.
Kemudian sang raja memanggil Si Sulung dan Si
Bungsu ke istana raja yang lama. Sang Raja ingin mengetahui bagaimana cara
kedua putranya menjalankan kerajaan.
“Ayah, aku memilih menteri-menteri yang
berpendidikan dan tersohor kepandaiannya untuk membantuku menjadi raja. Aku selalu
mengandalkan kemampuan mereka yang amat kupercaya untuk mengatasi masalah
kerajaan,” ujar Si Sulung.
“Aku juga memiliki menteri yang terpercaya, Ayah.
Aku selalu mendengarkan rakyatku pula. Aku tidak ingin hidup makmur di istana
bergelimang kekuasaan, sementara rakyatku menderita. Aku menjadikan posisiku
sebagai raja sebagai posisi paling berbahaya bagiku. Aku menganggap bahwa
kekuasaan adalah sebuah bencana,” ucap Si Bungsu.
Sang raja tersenyum. “Wahai putraku, kalian
berdua telah menjalankan kerajaan dengan baik. Namun, tahukah kalian, apa perbedaan
diantara kalian berdua?”
Si Bungsu dan Si Sulung menggeleng.
“Kau, Sulungku. Kau menjalankan kerajaan bersama
menteri yang kau pilih. Namun kau lupa, bahwa posisimu sebagai raja adalah
posisi terberat. Kau mengandalkan menterimu, namun kau lupa untuk menyadari
bahwa posisi pemimpin bukanlah posisi untuk bersantai dan melihat bawahanmu
bekerja. Bukankah demikian?”
Si Sulung tertunduk dalam.
“Dan kau, Bungsu. Engkau telah menjadikan
posisimu sebagai ujian, sehingga kau dapat membuat negerimu makmur dan rakyat
mencintaimu. Itulah yang ayah harapkan.”
“Wahai putra-putraku, tahukah kalian, apakah yang
lebih berat daripada batu, dan lebih besar daripada istana megah?”
Si Sulung dan Si Bungsu menggeleng.
“Beban berat dan besar yang sungguh sulit untuk
ditanggung tersebut bernama,
‘Amanah.’
Kau mungkin berpikir, sebuah amanah adalah hal
yang harus kau tanggung. Itu benar.
Tapi lebih dari itu, untuk menanggung beban berat
tersebut, kau perlu menempatkan posisimu sebagai musibah dalam hidupmu. Saat kau
merasa mendapat musibah, maka kau akan hati-hati menjalankannya.
Saat kekuasaanmu kau jadikan ujian berat, maka
kau akan bersungguh-sungguh mengerjakannya.
Ketahuilah, Nak. Sebetulnya menjadi pemimpin
bukanlah masalah kau siap atau tidak siap, tapi bisakah kau menjadikannya
sebagai musibah untuk dihadapi. Saat kau bisa menaklukkannya, saat itulah kau
telah menjadi pemimpin terbaik yang pernah ada.”
Dan sejak saat itu, kedua kerajaan menjadi
kerajaan terhebat yang bisa dikenang. Dengan kedua rajanya yang diingat, Si
Sulung dan Si Bungsu.
***
-reminder for myself, dan untuk semua pemimpin-pemimpin dimanapun.
terimakasih udah mbaca, semoga bermanfaat meskipun dikit :)
terimakasih udah mbaca, semoga bermanfaat meskipun dikit :)
Komentar
Posting Komentar